Kamis, 25 Agustus 2016

Anggaran JKN bisa dibantu dari Cukai Rokok

Pemerintah diminta mengalokasikan kenaikan cukai hasil tembakau (cukai rokok) untuk menambah anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany.

Menurutnya, kelangsungan program JKN bergantung pada kecukupan dana, kualitas layanan kesehatan yang baik dan merata, serta kepatuhan peserta program untuk membayar iuran. Saat ini, JKN sebagai program pelayanan kesehatan dari pemerintah yang berwujud BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan memberikan perlindungan sosial bagi 170 juta masyarakat Indonesia dengan total klaim yang diterima tahun ini diperkirakan mencapai Rp 74,3 triliun.

Sementara itu, memasuki tahun ke-3 pelaksanaannya, JKN mengalami defisit sebesar Rp 5,85 triliun dan diperkirakan mencapai angka Rp 9 triliun di akhir tahun 2016. Dengan adanya defisit, menunjukkan bahwa penambahan jumlah peserta dan penyesuaian besaran premi peserta JKN bukan merupakan solusi yang dapat menyelesaikan akar permasalahan anggaran.

Selain untuk JKN, pemerintah diminta juga mengalokasikan dana dari cukai hasil tembakau untuk kampanye hidup sehat.

"Pemerintah bisa mendapatkan dana tambahan, tergantung dari besarnya cukai tadi ditarik. Bervariasi dari Rp 15 triliun-Rp 30 triliun, ini bisa. Cuma kita harapkan penambahan tadi dedikasikanlah kepada kesehatan, bukan hanya JKN tapi juga seperti kampanye kesehatan, pola hidup sehat, dan lain-lain," ujar Hasbullah Thabrany saat diskusi publik di Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (25/8/2016).

"Kami mengharapkan dedikasi yang besar dari Presiden untuk menggunakan hasil cukai tembakau untuk membayar iuran JKN kelompok penerima bantuan iuran. Defisit yang dialami BPJS Kesehatan dapat diatasi dengan memanfaatkan mobilisasi dana cukai rokok yang besarnya mencapai Rp 126 triliun pada tahun 2015," lanjut Hasbullah

Tutup defisit JKN

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, mengatakan posisi JKN sebagai program jaminan kesehatan pemerintah bagi masyarakat masih pada tahap awal, dan wajar bila masih mengalami defisit. Namun demikian, menurutnya harus lebih didalami kembali bagaimana bisa terjadinya defisit tadi.

"Kita tahu persis pelaksanaan JKN sejak 2014 masih dalam tahap yang sangat awal. Kita tahu persis kalau mau membuat asuransi seperti JKN ini tidak cukup dalam 2-3 tahun. Bahkan yang puluhan tahun saja masih ada defisitnya," ujarnya ketika hadir pada acara dan lokasi yang sama.

"Dalam keuangan BPJS terjadi defisit, kami berharap kita bisa melakukan review yang lebih dalam mengenai jumlah defisit ini. Tapi yang lebih penting adalah kita perlu memahami berapa sesungguhnya defisit tersebut, sehingga cadangan yang ada di dalam APBNP bisa kita pakai untuk BPJS," tambahnya.

Lanjut dia, kondisi fiskal negara saat ini tidak cukup leluasa untuk memungkinkan adanya penambahan anggaran. Ia berujar, pemerintah perlu melakukan kerja sama dengan berbagai perusahaan asuransi yang sifatnya swasta.

"Menurut saya tantangan terbesar saat ini adalah mencari bentuk kerjasama dengan berbagai asuransi yang sifatnya swasta. Saya merasa bahwa mindset BPJS sebagai satu-satunya perusahaan asuransi di Indonesia kurang pas. Coba kita pikir seperti apa role dari perusahaan asuransi lain. Saya rasa layanan kesehatan harus lebih banyak baik itu pemerintah maupun swasta," katanya.

"Kita kan bisa lihat di luar, perusahaan asuransi swasta tetap ada. Terus kemudian RS Swasta banyak. RS pemerintah ikut semua, RS Swasta ada yang ikut ada juga yang nggak ikut (JKN). Itu gimana cara merangkul supaya semuanya ikut," pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar