Minggu, 25 Desember 2016

MUI Berterima Kasih Imbauan Atribut Natal Ditaati Pengusaha Pusat Perbelanjaan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengucapkan terima kasih kepada pihak pengelola pusat-pusat perbelanjaan yang ikut mentaati imbauan dan fatwa MUI larangan memaksakan penggunaan atribut Natal kepada karyawan Muslim. Ketua Komisi Hukum MUI Pusat, Prof HM Baharun mengatakan itikad baik dari pihak pengelola pusat perbelanjaan yang mau mengikuti himbauan MUI tersebut, merupakan sikap yang merawat keragaman dan toleransi.
"Menurut saya mereka yang menaati himbauan MUI melalui fatwa itu sikap yang merawat keragaman dan toleransi," kata dia kepada
Republika.co.id, Ahad (25/12).
Sebab pemaksaan keseragaman agar penganut lain harus menggunakan atribut ibadah agama tertentu, menurutnya dapat menimbulkan kerawanan sosial. Apalagi menjelang upacara ritual keagamaan, itu sangat sensitif dan mencederai kerukunan umat beragama yang selama ini sudah cukup harmonis.
Ia pun menilai sikap Kapolri kini, Jendral Pol M Tito Karnavian, cukup akomodatif ikut memantau dan mencegah kemungkinan timbulnya kerawanan sosial tersebut. "Untuk itu saya apresiatif kepada Kapolri yang responsif itu," kata Guru Besar Sosiologi Agama ini.
Hal yang sama disampaikan Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, KH Cholil Nafis. Ia mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang masih konsisten menjaga toleransi terhadap umat agama lain.
Sebab, jelas dia, fatwa MUI Nomer 56 tahun 2016 itu dimaksukan untuk menjaga aqidah umat Islam dengan tetap toleran kepada agama lain. "Ya. Kita harus saling bertoleransi di negara yg berasaskan Pancasila. Bineka itu artinya tetap pada identitas dan entitas masing-masing agama, suku dan ras, dan Ika itu berarti bersatu dalam bingkai ke-Indonesia-an," jelasnya.
Dalam UU Ketenagakerjaan Nomer 13 tahun 2003 tidak mengatur secara tegas tentang pemaksaan pemakaian atribut agama tertentu, hanya mengatur pemberian waktu bagi pekerja untuk menjalankan ibadah agamanya ( pasal 80). Ke depan mesti diatur masalah ini melalui undang-undang atau peraturan menteri Ketenagakerjaan.