Jumat, 24 November 2017

Tentang Outsourcing (3)

PERLINDUNGAN HUKUM

Pengaturan pelaksanaan outsourcing bila dilihat dari segi hokum ketenagakerjaan seperti apa yang disebutkan diatas adalah untuk memberikan kepastian hokum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan kepada pekerja, sehingga adanya anggapan bahwa hubungan kerja pada outsourcing selalu menggunakan PKWT/kontrak sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar.
Pelaksanaan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas dalam pasal 65 ayat (6) dan (7) dan pasal 66 ayat (2) dan (4) UU Ketenagakerjaan. Memang pada keadaan tertentu sangat sulit untuk mendefinisikan/menentukan jenis pekerjaan yang dikatagorikan PENUNJANG. Hal tsb dapat terjadi karena perbedaan persepsi dan adakalanya juga dilator belakangi oleh kepentingan yang diwakili untuk memperoleh keuntungan dari kondisi tsb. Disamping itu bentuk-bentuk pengelolaan usaha yang sangat bervariasi dan beberapa perusahaan multi nasional dalam era globalisasi ini membawa bentuk baru kemitraan usahanya semakin menambah tsb. Oleh karena itu melalui Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 ayat (5) UU Ketenagakerjaan diharapkan mampu mengakomodir/memperjelas dan menjawab segala sesuatu yang menimbulkan kerancuan dengan mempertimbangkan masukan dari semua pihak pelaku proses produksi barang maupun jasa.
Selain dari upaya itu, untuk mengurangi timbulnya kerancuan, dapat pula dilakukan dengan membuat dan menetapkan skema proses produksi barang dan jasa sehingga dapat ditentukan pekerjaan pokok/utama(core business); yang diluar itu berarti pekerjaan penunjang. Dalam hal ini untuk menyamakan persepsi perlu dikomunikasikan dengan pekerja dan Serikat Pekerja serta instansi terkait untuk kemudian dicantumkan dalam Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama.

PENUTUP
Pengaturan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan berikut peraturan pelaksanaannya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hokum dan sekaligus memberikan perlindungan bagi pekerja. Bahwa dalam prakteknya ada yang belum terlaksana sebagaimana mestinya adalah masalah lain dan bukan karena aturannya itu sendiri.
Oleh karena itu untuk menjamin terlaksananya secara baik sehingga tercapai tujuan untuk melindungi pekerja, diperlukan pengawasan yang intensif, baik oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan maupun oleh masyarakat, disamping perlunya iktikad baik semua pihak.

Tentang Outsourcing (2)

Praktek outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat, sebagai berikut:
1) Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis;
2) Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat:
a.Apabila bagian pekerjaan tersebut terpisah dari kegiatan utama;
b.Bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang, dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama perusahaan secara keseluruhan sehingga kala dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi secara langsung; dan
c.Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.

Semua persyaratan diatas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat dioutsourcingkan.

3) Perusahaan penerima pekerjaan harus BERBADAN HUKUM. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja sebagaimana mestinya sehingga pekerja menjadi terlantar. Oleh karena itu BERBADAN HUKUM menjadi sangat penting agar tidak bias menghindar dari tanggung jawab. Dalam hal perusahaan penerima pekerjaan tidak berbadan hokum dan bagian pekerjaan yang dioutsourcingkan tidak memenuhi syarat sebagaimana tersebut diatas, maka status hubungan kerja yang semula dengan perusahaan penerima pekerjaan, demi hokum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan;
4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja pada perusahaan penerima pekerjaan sekurang-kurangnya sama dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja dimaksudkan agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja, baik perusahaan pemberi maupun di perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakekatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat-syarat kerja, upah, perlindungan kerja yang lebih rendah.
5) Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja dengan perusahaan penerima pekerjaan dan dituangkan dalam Perjanjian Kerja Tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya PKWTT(Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu)/tetap, akan tetapi dapat pula dilakukan PKWT(perjanjian Kerja Waktu Tertentu)/kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiiil sebagaimana diatur dalam pasal 59 UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Dengan demikian maka hubungan kerja pada outsourcing tidak selalu dalam bentuk PKWT/kontrak, apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan bahwa outsourcing selalu dan sama dengan PKWT.
Perusahaan penyedia jasa pekerja, yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing, harus dibedakan dengan LEMBAGA PENEMPATAN TENAGA KERJA SWASTA(labour supplier) sebagaimana diatur dalam pasal 35, 36, 37, 38 UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003, dimana apabila tenaga kerja telah ditempatkan, maka hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja dengan perusahaan pemberi kerja, bukan dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta tersebut.
Dalam pelaksanaan penyediaan jasa pekerja, perusahaan pemberi kerja tidak boleh mempekerjakaan pekerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan dimaksud antara lain: Usaha pelayanan kebersihan, usaha penyediaan makanan bagi pekerja, usaha tenaga pengamanan, usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja.
Disamping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyedia jasa pekerja bertanggung jawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi.

Tentang Outsourcing (1)

Oleh : Muzni Tambusai

PENGANTAR

Perkembangan ekonomi global dan kemajuan tehnologi yang begitu cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang ketat dan terjadi di semua lini. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan.
Untuk itu diperlukan suatu perubahan structural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rending kendali manajemen, memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, effisien dan produktif. Dalam kaitan itulah dapat dimengerti bahwa kalau demikian muncul kecenderungan outsourcing, yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian pekerjaan yang tadinya dilakukan sendiri kepada perusahaan lain, yang kemudian disebut sebagai perusahaan penerima pekerjaan.
Praktek sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja. Oleh karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak, upah yang rendah, jaminan social kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir, dll sehingga memang benar kalau dalam keadaan seperti itu dikatakan praktek outsourcing akan menyengsarakan pekerja dan membuat kaburnya hubungan industrial.
Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya UU Ketenagakerjaan NO 13 tahun 2003, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan hokum terhadap pekerja dalam pelaksanaan outsourcing. Kalaupun ada barangkali Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: 2 tahun 1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu(KKWT), yang hanya merupakan satu aspek dari outsourcing.
Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan NO: 13 tahun 2003 belum menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks, namun setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan social dan perlindungan kerja lainnya serta dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.

PELAKSANAAN OUTSOURCING

Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja sangat banyak dibicarakan oleh pelaku proses produksi barang maupun jasa dan oleh pemerhati, karena outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja(labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja.
Pelaksanaan outsourcing yang sedemikian dapat menimbulkan keresahan pekerja dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti apa yang disebutkan diatas menjadi tidak tercapai, oleh karena terganggunya proses produksi barang maupunjasa.
Terminologi outsourcing terdapat dalam pasal 1601 b KUH Perdata yang mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan, yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang kesatu, pemborong, mengingatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan pekerjaan dengan bayaran tertentu. Sementara dalam UU Ketenagakerjaan NO 13 tahun 2003 secara eksplisit tidak ada istilah outsourcing, tetapi praktek outsourcing dimaksud dalam Undang-Undang ini dikenal dalam 2(dua) bentuk, yaitu pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja sebagaimana diatur dalam pasal 64,65 dan 66.

Praktek outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat, sebagai berikut:
1) Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis;
2) Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat:
a.Apabila bagian pekerjaan tersebut terpisah dari kegiatan utama;
b.Bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang, dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama perusahaan.

Festival Kretek Nusantara

Saat ini kontribusi Industri Hasil Tembakau (IHT) terhadap penerimaan negara sebagaimana tercermin pada APBN selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun anggaran 1990/1991, penerimaan cukai hanya sebesar Rp 1,8 triliun atau mengkontribusi sekitar 4 persen dari penerimaan dalam negeri.

Pada tahun anggaran 1999/2000 jumlah tersebut meningkat menjadi Rp 10,4 triliun atau menyumbang sebesar 7,3 persen penerimaan dalam negeri. Pada tahun 2003, penerimaan cukai kembali meningkat menjadi Rp 27,9 triliun (8,3% dari penerimaan dalam negeri) dan menjadi 35 trilyun rupiah dengan total produksi sebesar 180 miliar batang pada tahun 2008 (GAPRI;2008). Industri tumbuh rata-rata sebesar 5-7% per tahun (TEMPO interaktif, 10 Desember 2008) dan kini mencapai penerimaan sebesar 120 triliun (2016).

IHT memiliki sumbangan yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja. IHT termasuk industri padat karya. Terutama produk sigaret kretek tangan (SKT), memberikan peluang penyerapan pada pekerja perempuan dan berpendidikan rendah.

Bagi daerah, selain berkontribusi langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), sumbangan IHT juga berupa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Adapun di pasar internasional indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan tembakau dunia.

Oleh karena potensi tembakau Indonesia yang luar biasa, dan sebagai bentuk apreisasi kepada para pekerja di seluruh Indonesia, PD FSP RTMM SPSI DIY ( Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta)mengadakan acara "BAZAR DAN KRETEK NUSANTARA 2017" dalam event Festival Kretek Nusantara 2017, digelar 24-25 November 2017 di Lapangan Minggiran- Mantrijeron.

Waljid Budi Lestarianto, selaku Ketua Pimpinan Daerah FSP RTMM DIY, mengatakan dalam release yang dibuat oleh media center FKN 2017 di lapangan Minggiran-Mantrijeron (24/11), salah satu bentuk apresiasi kepada seluruh buruh di Indonesia baik tembakau, makanan dan minuman Apresiasi Budaya digelar di Yogyakarta selma dua hari dengan berbagai kegiatan seperti seminar yang diselenggarakan di Hotel Galery Prawirotaman

Diikuti oleh 100 peserta perwakilan RTMM SPSI dari Semarang, Karawang, Kudus, Pekalongan, Tegal, Yogyakakarta, Ngawi, Sidoarjo, Gresik dan Nganjuk serta parade budaya untuk hari Jumat, seperti pentas Angguk, Jathilan, Tari Sekar Pudyastuti, Gedruk, Rastafarian, Merlisto, Hossband. Sabtu (25/11) akan diisi dengan kirab budaya, hadroh, istighosah, Beat Box, KPJ Malioboro Lenisters, Sangkakala, dan sebagai penghujung akan ditutup dengan pementasan oleh group band asal kota Yogyakarta Letto.

"Selama FKN 2017 dihadiri oleh 6000 buruh dari DIY dan beberapa luar kota seperti Lampung, Medan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan kota lainya. Selain itu dalam istighozah yang diisi oleh KH. Zamzami(Gus Zami) dan Habib Ahmad dari Pondok Pesantren Mlangi Gamping Slemanjuga akan diikuti oleh peserta dan mayarakat dari pondok pesantren di sekitar Mantrijeron," terangnya.

Gelaran Festival Kretek Nusantara yang digelar secara gratis ini tidak lain sebagai salah satu bentuk realisasi amanat Undang-Undang Perlindungan Budaya Nusantara yang mana Rokok Kretek adalah salah satu warisan budaya leluhur Nusantara yang harus dilindungi, serta juga momen perhatian kepada para buruh tembakau yang telah berjuang untuk menghidupi keluarga dan merayakan kebahagiaan bersama sesama buruh. (Media Center FKN 2017)

Kamis, 27 Juli 2017

Tolak Pasien BPJS Kesehatan, Kerjasama RS Jember Klinik Bisa Diputus

Penolakan Agus Efendy, atau Bung Laros
yang Viral di Facebook, membuat Kepala BPJS Kesehatan Jember, Kamis (27/7 ) , datangi Rumah Sakit (RS) Jember Klinik.
Kedatangan Kepala BPJS Kesehatan, Tania Rahayu Ke RS Jember Klinik guna melakukan koordinasi dan evaluasi terkait kabar adanya keluhan Agus Efendy yang berakun facebook, Bung laros yang viral di Grup Informasi Warga Jember (IWJ) dan media massa, yang ditolak dengan alasan kuotanya habis.
Penolakan calon pasien Peserta BPJS Kesehatan menurut Bung Laros, dengan alasan kuota untuk pasien BPJS Kesehatan habis, hanya melayani pasien mandiri. "Namun pihak rumah sakit menyatakan kesiapannya untuk meningkatkan dan memperbaiki pelayanannya," ungkapnya.
Sesuai regulasi yang ada, pihak rumah sakit memang tidak diperkenankan melakukan pembatasan layanan bagi pasien. "Jika semua syaratnya terpenuhi, Rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan lanjutan wajib melayani pasien hingga sembuh," terangnya.
Kalau pasien mampu menunjukan kepemilikan kartu kepersertaan BPJS Kesehatan, aktif dan membawa surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (Faskes tk. I) Menurutnya RS Jember Klinik tidak boleh menolak. Jika dikemudian hari masih ditemukan, maka BPJS akan memberikan teguran.
"Bahkan jika terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan terjadi pemutusan hubungan kerjasama, Karena pemutusan hubungan bisa terjadi jika salah satu atau kedua belah pihak telah menyalahi kesepakatan atau melanggar aturan sesuai regulasi yang berlaku." tegasnya.
Sementara Ketua IDI Jember, Dr Hendro, Kalau itu benar dilakukan, (karena RS belum mengkonfirmasi), Ia yakin itu bukan perbuatan Dokter, karena Dokter terikat dengan kode etik kedokteran indonesia, kalau dilakukan itu melanggar pasal 2, dokter wajib mengambil keputusan proses secara independen.
“Apakah benar itu keputusan rumah sakit atau Dokter, biasanya yang merasa dirugikan itu adalah Rumah sakit bukan dokternya. Seharusnya pihak rumah sakit tidak boleh melakukan pembatasan itu ada hak pasien sesuai yang telah diatur oleh kode etik kedokteran Indonesia”. Jelasnya.

Senin, 20 Februari 2017

Demo PHK buruh

SUKOREJO–Puluhan buruh yang tergabung dalam SBSI Metal Pasuruan melakukan aksi unjuk rasa di depan pintu masuk menuju pabrik rokok PT H.M. Sampoerna, kemarin. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes tidak dipekerjakannya  kembali 13 orang buruh kontrak.“Aksi ini merupakan bentuk protes adanya tidak dipekerjakan kembali 13 orang buruh kontrak, sekaligus dukungan perjuangan untuk menentangnya. Kami nilai kurang tepat,” jelas Achmad Soim, korlap aksi dari SBSI Metal Pasuruan.Pendemo juga membawa sejumlah poster bernada protes. Belasan buruh ini, menurut Achmad Soim, bekerja di PT H.M. Sampoerna, di bawah kendali PT ISS Indonesia selaku perusahaan outsourcing. Nah, belasan buruh ini diputus kontraknya Januari lalu dengan alasan sudah tidak cakap. Padahal, mereka sudah bertahun-tahun  bekerja.“Harusnya ini tidak terjadi dan kami rasa hanya akal-akalan dari PT  ISS Indonesia saja. Apalagi, dianggap tak cakap, padahal sudah bekerja lama dan tahunan. Meskipun statusnya  masih kontrak,” jelasnya. Aksi demo yang dilakukan kemarin dijaga ketat oleh aparat kepolisian

Klaim kontribusi Freeport bagi Indonesia

Sudah 5 dekade PT Freeport Indonesia melakukan kegiatan pertambangan di Timika, Papua. Dimulai dari Tambang Erstberg, dan kemudian Tambang Grasberg. Di Grasberg, Freeport telah bercokol sejak 1991, sudah 26 tahun.
Seberapa besar kontribusi Freeport terhadap perekonomian Indonesia?
President and CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C. Adkerson, menyebutkan pemerintah Indonesia telah menerima 60% manfaat finansial langsung dari operasi Freeport. Pajak-pajak, royalti, dan dividen yang dibayarkan Freeport kepada pemerintah Indonesia sejak 1991 mencapai US$ 16,1 miliar, atau setara dengan Rp 214 triliun (dengan asumsi kurs dolar Rp 13.300).
Freeport mengaku hanya menerima US$ 10,8 miliar atau 40% dari hasil penambangan bijih tembaga, emas, dan perak di Grasberg sejak 1991.
"Pajak, royalti, dan dividen yang dibayar pada pemerintah Indonesia sejak 1991 melebihi US$ 16,1 miliar, sedangkan Freeport McMoRan menerima US$ 10,8 miliar dalam bentuk dividen," kata Richard dalam konferensi pers di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (20/2/2017).
Berdasarkan data Freeport, total dividen yang disetor pada pemerintah Indonesia sejak 1992 sampai 2015 mencapai US$ 1,287 miliar.
Lalu royalti yang dibayar sejak 1992 hingga 2015 totalnya US$ 1,769 miliar. Adapun total pembayaran pajak dan pungutan lainnya US$ 13,085 miliar. Pajak dan pungutan ini meliputi PPh Badan, PPN, Iuran Tetap, Pajak Penghasilan Karyawan, PDBR, Bea Masuk, Pajak dan Retribusi Daerah.
"Total manfaat langsung ini melebihi jumlah yang dibayarkan Freeport jika beroperasi di negara-negara lain," ucapnya.
Freeport juga mengklaim berkontribusi sebesar US$ 32,5 miliar terhadap perekonomian Indonesia dari pembayaran gaji karyawan, pembelian dalam negeri, pengembangan masyarakat, pembangunan daerah, dan investasi dalam negeri.
"Selain itu, PT Freeport Indonesia menginvestasikan US$ 7,7 miliar untuk infrastruktur dan memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Domestrik Bruto Nasional sebesar lebih dari US$ 60 miliar sejak 1992," papar Richard.
Dari sisi lapangan pekerjaan, menurut data per 31 Desember 2015, Freeport Indonesia menyerap tenaga kerja sebanyak 32.416, terdiri dari pekerja langsung Freeport Indonesia dan pekerja dari perusahaan-perusahaan kontraktor yang disewa Freeport.
Dari 32.416 pekerja itu, 12.085 di antaranya adalah pekerja langsung alias karyawan PT Freeport Indonesia. Sebanyak 4.321 orang karyawan Freeport adalah orang asli Papua. Jumlah pekerja asing 152 orang atau 1,26%.

Sumber : Detikcom