Gamal Abdul Nasser dengan prinsip dasar sosialismenya yaitu memberi kesempatan yang sama dalam apa yang mestinya diperoleh rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara demokratis dan mendapat pengayoman dari pemerintah serta mendapat keadilan demi mencapai kesejahteraan telah mampu menggerakkan revolusi di Mesir pada 23 juli 1952.
Gamal abdel Nasser presiden Mesir kedua,setelah menggulingkan Muhammad Naquib,lahir di Alexandria pada 15 januari 1918. Beristri Tahia Kazem, adalah muslim sunni yang menjadi negarawan arab terkemuka dalam sejarah.
Berpangkat mayor saat ikut perang melawan Israel pada tahun 1948. Mengalami terperangkap bersama pasukannya di kawasan 'POKET FALUJA' dan berhasil selamat. Kemudian pada 1952 memimpin tentara untuk mengkudeta Raja Farouk I.
Pada masa pemerintahannya Nasser membangkitkan Nasionalisme arab dan Pan arabisme menasionalisasi TERUSAN SUEZ yang membuat Mesir berhadapan dengan PRANCIS,INGGRIS dan israel yang berkepenting an dengan terusan itu. Krisis akhirnya dapat diselesaikan dengan keputusan dunia yang menguntungkan Mesir, terusan itu masuk kedaulatannya. Kemudian Nasser mengadakan proyek infrastruktur besarbesaran diantaranya adalah proyek bendungan ASWAN dengan bantuan pemerintah SOVYET . Setelah kalah dalam perang 6 hari dengan Israel pada tahun 1967,Nasser mengumumkan akan menarik diri dari dunia politik tapi rakyat mencegahnya. Nasser sekali lagi memimpin perang 1969-1970 (war of atrition). Nasser meninggal akibat sakit jantung,2 minggu setelah perang usai pada 28 september 1970.
Nasser melahirkan konsep imagine community ala Naser . Hal kontroversial melekat pada diri Nasser. Dialah yang menghukum mati ulama aktifis kharismatik pada jamannya,HASSAN AL BANNA dan SAYYID QUTB,ikon IKHWANUL MUSLIMIN. Karna alasan itu Nasser sering dibenci oleh aktifis islam, khususnya yang memiliki kedekatan ideologis dengan IKHWAN. Di sisi lain NASSER lah satu-satunya pemimpin arab yang mampu menakuti israel,negeri zionis yang dianggap representasi praktek kolonialisme modern. Kehadirannya membuat PALESTIN terkungkung di rumah sendiri dan dunia arab selalu dilanda ketidakstabilan sosialpolitik. Nasser yang berada di garis yang jelas untuk menentang negara bentukan BEN GURION itu. Sesuatu yang tidak dilakukan IRAN sejak rejim para mullai itu berkuasa.
Nasser kalah dalam mempersatukan ARAB. ARAB SAUDI Negara paling berpengaruh tidak pernah sungguh-sungguh membantu impiannya. Nasser ingin arab jadi milik orang arab bukan milik AMERIKA melalui israel. "mengapa seratus juta orang arab masih tercerai berai?",keluhnya saat kehilangan harapan untuk menghapus israel dari bumi arab.
Hubungan MESIR dan ARAB SAUDI Saat itu terganjal dengan adanya raja SUUD berdiam di kairo setelah melarikan diri. Ini yang membuat geram raja FAISAL yang menggantikan memimpin ARAB SAUDI.
Karena tidak mendapat dukungan dari sesama arab, Nasser terpaksa menggantungkan harapan pada uni sovyet . Ia anggap, arab akan tenggelam dalam kehinaan bila angkatan perangnya tidak direhab. Nasser pun menarik sovyet ke dalam masalah timur tengah.
Mesir terancam bahaya karena tak terlindungi persenjataan yang canggih. Terutama bendungan ASWAN yang selalu jadi incaran israel. Melihat kondisi seperti itu,bagaimana Nasser melindungi Mesir dari israel?. Pelabuhan PORT SAID hancur oleh perang sebelumnya. Tinggal ISKANDARIYAH. Bila itu juga diserbu dan dihancurkan, tak ada lagi harapan.
Usaha Nasser menarik uni sovyet masuk ke masalah timurtengah nampaknya tak tanggung tanggung. Saat sovyet merasa ragu, Nasser mengatakan dengan geram, "baiklah,jika mesir tidak memperoleh apa yang dimintanya,maka dunia akan tahu,satu satunya keputusan ada di tangan AMERIKA,saya akan menyatakan pada rakyat saya bahwa sudah tiba masanya bagi saya mundur, tempat saya akan digantikan oleh orang yang pro AMERIKA".
Presiden sovyet kala itu LEONID ILYICH BREZHNEV berkata,"kamerad Nasser, baiklah,sovyet akan membantu anda!".
Dan bantuan senjata pun mengalir deras ke kairo dan membuat israel kewalahan. Moshe Dayan panglima israel yang punya julukan SI MATA SATU dibuat malu pada perang YOM KIPPUR.
Negarawan kontemporer ini memunculkan sosialisasisme arab yang ingin dilaksanakan dalam kawasan REPUBLIK PERSATUAN ARAB untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh arab dan meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik bagi setiap penduduk. Tatanan masyarakat baru yang dikehendaki adalah yang dinamis,masyarakat yang saling membantu, memanfaat kan sebagian hak milik individu untuk kesejahteraan kelompok. Sosialisme arab Nasser menitikberatkan kepada pertumbuhan ekonomi untuk kemakmuran rakyat dan bukan yang hanya dinikmati oleh sebagian kecil konglomerat atau klan-klan sebagaimana yang dialami Mesir waktu itu. Nasser mengisyaratkan sosialisme arab tidak sama dengan sosialisme MARXIS &LENIN , akan tetapi sosialisme yang digali dari norma-norma islam yang dilegitimasi ulama dan cendekiawan muslim.
Kharisma Nasser mampu menarik perhatian rakyat. Itu ditunjukkan dengan antusiasme rakyat saat mendengar pidato pidatonya di radio,mirip BUNG KARNO. 26 Juli 1956 Nasser mengumumkan akan menasionalisasi Terusan suez.
"Terusan itu milik kita, yang dibayar dengan 120.000 nyawa rakyat Mesir. Mesir tak butuh bantuan barat karena memiliki sumber penghasilan yang besar".
Gebrakan itu ingin membuat Mesir keluar dari kemiskinan dan membuatnya dikukuhkan sebagai BAPAK PENDIRI MESIR MODERN. Bersama BUNG KARNO juga menjadi pencetus dan pendiri GERAKAN NON BLOK. Hal ini membuatnya semakin dikagumi rakyat Mesir dan oleh pemimpin pemimpin negara dunia ketiga.
Ide cemerlang Nasser menasionalisasi terusan suez sepanjang 163 km yang menghubungkan pelabuhan SAID di laut tengah dengan SUEZ (Al-suways) di laut Merah,bertujuan untuk penggalangan dana demi pembangunan bendungan Aswan.
Terusan yang dibuka tahun 1870 atas pendanaan dari Perancis itu sebelumnya diurusi oleh UNIVERSAL COMPANY OF SUEZ MARITIM CANAL, Sangat penting bagi Inggris dan negara eropa lainnya. Penghubung Inggris dengan koloninya India, Australia dan Selandia baru. Tahun 1875 Inggris membeli saham SUEZ CANAL Co. Hingga memperoleh kekuasaan atas pengoperasian Terusan itu dan membaginya dengan investor Perancis.
Pada tahun 1882,selama invasi atas Mesir,Inggris secara de facto menguasai terusan itu. Konvensi KONSTANTINOPEL 1888 Mendeklarasikan TS sebagai zona netral di bawah perlindungan inggris. Sultan UTSMANI setuju memberi ijin kepada kapal kapal asing lewat baik saat damai maupun perang.
Saat Inggris dan Prancis pasca perang dunia II ngotot menguasai TS mendapat tentangan dari anggota NATO seperti Portugal dan Islandia. Pakta WARSAWA pun mengancam akan membantu Mesir habis-habisan untuk menghadapi mereka jika tidak mundur dari Mesir. Amerika yang merupakan sekutu Inggris juga ikutan menekan dengan mengurangi dana bantuan untuk rehabilitasi ekonomi pasca PD II. Arab Saudi juga mulai embargo minyak.
Sir Anthony Eden,PM inggris terpaksa mundur. Akhirnya TS menjadi milik Mesir pada 1957 setelah Israel menarik pasukan dari semenanjung Sinai. Invasi Barat pun berakhir. Aktifitas ekspor- impor dikontrol oleh Mesir sendiri hingga memperoleh devisa yang besar.
Pada 9 januari 1960 dimulailah proyek pembangunan bendungan raksasa di sungai Nil dan selesai pada 21 juli 1970.Diharapkan sumber daya akan berlipat ganda dan menambah 200 juta pounds atau setara 3,56 milyar rupiah waktu itu masuk ke pos pendapatan negara.
Bendungan ASWAN memiliki tinggi 114 meter dan panjang 3600 meter. Mampu memproduksi listrik 2100 megawatt. Selain itu membantu pengairan pertanian. Tanpa dibendung, sungai Nil akan membanjiri daerah di sekitar sungai dan menyapu hasil pertanian, walaupun banjir membawa zat-zat nutrisi dan mineral bagi kesuburan tanah.
Di sepanjan kawasan TS itu dibangun berbagai pabrik, mulai dari industri tekstil, bahan kimia,besi, minyak serta olahannya untuk memacu perekonomian Mesir. Reformasi ekonomi Nasser lainnya adalah menjalankan redistribusi tanah untuk rakyat. Kebijakan sosialis lainnya adalah mengubah status AL AZHAR , Universitas tertua di dunia yang sebelumnya lembaga waqof independen menjadi lembaga pemerintah.
Revolusi rakyat pada tanggal 25 januari 2011 yang menggulingkan presiden Mubarak memberi jalan bagi para sesepuh AL AZHAR untuk mengembalikan posisi universitas yang didirikan oleh panglima BANI FATHIMIYAH, Jauhar Ash Shiqilli pada 970 masehi itu sebagai lembaga waqof pendidikan milik dunia islam.
Demikian Nasser dengan sosialismenya. Membangkitkan kepercayaan diri bangsanya dan negara negara dunia ketiga, terutama yang berpenduduk mayoritas muslim. Virus pergerakkan Nasser menular ke LIBYA,IRAK,IRAN, INDIA, dan INDONESIA. Namun yang paling kita soroti adalah apa yang terjadi di LIBYA.
Di Libya, ide sosialisme ala Khadafi muncul menggerakkan revolusi al fatih tahun 1969. Khadafi menafsirkan sosialisme (isytirakiyah) sebagai suatu sistem yang didasarkan pada ALQURAN dan kebudayaan arab ,bukan pada marxisme atau sosialisme manapun.
Ciri pembeda sosialisme berkarakter islam adalah penghargaan terhadap hak kepemilikan pribadi sebagai sesuatu yang suci. Kalau kapitalis, suatu kelas yang menguasai kelas yang lain (proletariat) . Sedangkan sistem komunis, pemerintah menguasai seluruh kelas sosial.
Khadafi meyakini istilah ini selain terdapat dalam alquran maupun hadis, juga telah dilaksanakan oleh masyarakat di jaman nabi. Di dalamnya terdapat prinsip- prinsip kepemilikan pribadi, kerja bersama/gotong royong,persamaan hukum dan keadilan sosial.
Sumber daya alam nasional tidak termasuk milik pribadi, harus bisa dinikmati oleh seluruh kalangan rakyat.
Tafsir sosialisme itu ia rumuskan dalam BUKU HIJAU (Kitab al akhdar) yang kemudian jadi basis ideologi pemerintahnya. Ia menginterpretasi konsep syura dalam alquran (QS 42:38) sebagai jawaban atas demokrasi barat. Syura ditafsirkan dalam bentuk komite/kongres rakyat yang berfungsi sebagai lembaga legislatif dan eksekutif. Sistem ala khadafi mendukung wakil rakyat dipilih langsung.
Revolusi Qaddafi, Ruh Soekarno
“Qaddafi memiliki kemiripan dengan Soekarno,” ujar Pramono Anung. “Sama-sama memperjuangkan sosialisme lokal. Jika Soekarno bicara sosialisme ala Indonesia, maka Qaddafi mendengungkan sosialisme Libya dengan semboyan ‘sosialisme, persatuan dan kebebasan’.”1 Ketika itu, November 2007, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) ini mendampingi Presiden Megawati Sukarnoputri dalam kunjungannya ke Libya, menemui pemimpin negeri itu, Muammar Qaddafi.
Muammar Qaddafi mencanangkan semboyan “Sosialisme, Persatuan dan Kebebasan” selepas Revolusi Al-Fateh 1969. Ketiga semboyan yang dikonsepkan Qaddafi ini memang unik. Seperti halnya Soekarno, Qaddafi mencari akar-akar pemikiran dan budaya setempat sebagai landasan dasar. Pemikiran Qaddafi banyak dipengaruhi Gamal Abdul Nasser, dan butuh perjalanan panjang hingga kemudian tiga semboyan, yang mirip konsep Trisakti Soekarno2, itu dicanangkan.
Ketiga semboyan itu lahir persis ketika kolonialisme di Afrika mulai mendapat perlawanan keras. Qaddafi, yang lahir pada 1942 itu, tertarik pada ide-ide antikolonialisme sejak usia dini. Awal 1960an, anak muda Libya sedang giat-giatnya terlibat dalam politik nasionalis ala Nasser. Perdana menteri Mesir, yang bersama-sama Soekarno menggalang Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955 itu, menjadi pujaan anak-anak muda Libya.
Selain di bawah kuku kolonialisme, Libya sedang dikuasai oleh kepemimpinan monarki yang makin berjarak dari rakyatnya. Rakyat Libya miskin, meski ladang-ladang minyak bertebaran di tanah air mereka. Sejumlah anak muda terdidik membangun kekuatan di luar garis kekuasaan kesukuan yang sedang memegang kendali.
Di usia belasan tahun, Qaddafi banyak menghabiskan masa di depan radio transistor. Ia mendengarkan Voices of The Arabs3, sebuah radio berbasis di Mesir yang menyiarkan semangat nasionalisme Arab. Kesadaran politiknya tumbuh berkembang seiring dengan semakin intensifnya ia mendengarkan pidato-pidato Gamal Abdul Nasser yang membakar. Kharisma Nasser memang telah memikat Qaddafi. Pada 1952, Nasser telah berhasil melengserkan Raja Farouk I, dan membentuk sebuah republik di sana.
Qaddafi dengan cepat mengadopsi filosofi-filosofi Nasser, terpenting mengenai gagasan pemersatuan bangsa Arab dan penolakan terhadap kolonialisme Barat. Pada zaman itu, Nasser membakar semangat negeri-negeri Arab di kawasan, membangun perasaan nasionalisme, dan bersama-sama menentang penjajahan dari luar. Negeri yang menjadi audiens Nasser di antaranya Libya, Tunisia, Maroko, Syria, Lebanon, Irak, Yordania, Saudi Arabia, dan Yaman. Nasser mengajak negeri-negeri ini agar sebarisan dengan Mesir menghadapi kekuatan kolonial. Qaddafi begitu semangat menyerap pandangan-pandangan ini. Saking mendalamnya, seorang kawannya sempat bilang4 bahwa Qaddafi nyaris menjadi seorang Mesir ketimbang seorang Libya.
Ketika Libya mendapatkan kemerdekaannya, Qaddafi baru saja lulus sekolah dasar di Sirte. Ia lalu melanjutkan ke sekolah menengah di Fezzan. Dan di sinilah ia mulai membentuk kelompok—yang akan menjadi dewan revolusi ketika Qaddafi berhasil menggulingkan kekuasaan monarki Libya nantinya. Semakin lama, kelompok bentukan Qaddafi ini semakin besar, dan kerap terlibat dalam aksi-aksi anti kolonialisme. Qaddafi sempat mengorganisir demonstrasi yang mendukung gerakan Nasser di Mesir dan menentang kolonialisme yang memboncengi Israel. Entah, mungkin karena inilah, Qaddafi dikeluarkan dari sekolah dengan alasan “membangkang”.
Tapi tak lama kemudian, Qaddafi bisa melanjutkan sekolahnya kembali. Ia masuk ke Universitas Libya, tempat ia mempelajari sejarah, ilmu politik, juga ide-ide Marxisme. Qaddafi juga menjalani pelatihan militer, dan mendorong kawan-kawannya mengambil pelatihan serupa—generasi anak muda ini nantinya menjadi perwira dalam Tentara Nasional Libya (Libyan Army). Qaddafi lulus dengan nilai tinggi. Tapi kemudian dia memilih mendaftarkan diri di Akademi Militer Benghazi (Benghazi Military Academy), yang dengan mudah diterima karena nilai akademiknya yang luar biasa.
Di akademi ini pula, Qaddafi membentuk kelompok kecil. Ia mengumpulkan calon-calon perwira yang memiliki semangat dan latar belakang serupa. Selepas lulus dari akademi, Qaddafi ditugaskan di Tentara Nasional Libya dengan pangkat Letnan. Ia dikirim ke Inggris, untuk pelatihan lebih lanjut. Sekembali dari Inggris, Qaddafi meluangkan banyak kesempatan untuk melakukan rekruitmen anggota revolusi. Ia mengadakan pertemuan-pertemuan reguler yang sedemikian rupa dirahasiakan dari pengawasan rezim yang berkuasa saat itu, rezim Raja Idris.
Sekompok anak muda yang dibentuk Qaddafi sepertinya telah menjadi komunitas revolusioner yang kuat. Di dinas ketentaraan, pendukung-pendukung Qaddafi itu mengelompokkan diri dalam Gerakan Perwira Bebas (Free Officers Movement). Mereka ini berkomitmen mendukung gagasan Qaddafi untuk mempersatukan bangsa Arab (Pan-Arab) dan menentang kolonialisme Barat.
Kelompok ini terus melakukan konsolidasi-konsolidasi rahasia. Hingga, pada akhir malam 1 September 1969 itu, Qaddafi dan pasukannya menggulingkan kekuasaan King Idris I, ketika sang raja sedang berada di luar negeri. Qaddafi menduduki Tripoli, Benghazi, dan beberapa kota kecil lainnya. Orang-orang Qaddafi juga menguasai stasiun radio di Benghazi, yang merupakan nyaris satu-satunya sumber informasi bagi rakyat Libya. Dari radio inilah, seluruh rakyat Libya, baik dari kota maupun pedalaman padang pasir, mendengar berita bergantinya kekuasaan.
Lewat radio itu, Qaddafi berpidato. Seperti halnya Soekarno, Qaddafi menyerukan rakyat bangkit melawan segala bentuk penjajahan. Qaddafi memastikan bahwa Libya sekarang ini bukanlah sekadar pion-pion negara adidaya. “Sejak sekarang, Libya termasuk republik yang bebas dan berdaulat, dengan nama Republik Arab Libya.”5 Qaddafi menyeru agar seluruh rakyat Libya bersatu “menentang musuh-musuh bangsa Arab, musuh-musuh Islam, musuh-musuh kemanusiaan yang telah menghancurkan tempat-tempat suci kita dan merontokkan kehormatan kita.” Segera setelah itu, Qaddafi juga mengumpulkan diplomat-diplomat AS, Soviet dan Perancis guna mendeklarasikan keberadaan pemerintahan baru dan menjelaskan seperti apa nantinya dia akan menjalankan republik ini.
Di pemerintahan baru ini, Qaddafi menjadi perdana menteri Republik Arab Libya Sosialis. Ia juga dipilih sebagai kepala angkatan bersenjata. Qaddafi, menurut Terri Willis, penulis Libya: Enchantment of The World, mendasarkan strategi pemerintahaannya pada tiga faktor: kebebasan politik dan ekonomi bagi rakyat; persatuan rakyat Libya dan persatuan seluruh bangsa di dunia Arab; hukum Islam sebagai penuntun bagi pencapaian keadilan. Tidak diragukan, ini juga mirip dengan pemikiran Soekarno yang tertuang dalam tulisannya “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme”.
Anti-Kolonialisme, Nasionalisme
Begitu revolusi berhasil diwujudkan pada 1969, Qaddafi memantapkan semangat antikolonialisme dalam arena praksis. Untuk membersihkan Libya dari pengaruh kekuasaan lama atau dalam bahasa Soekarno “antek-antek kolonialisme”, Qaddafi ingin lebih memperjelas konsep kebebasan bagi Libya.
Bagi Qaddafi, konsep kebebasan, dalam slogan revolusi “sosialisme, kebebasan, persatuan” itu, mengandung tiga hal yang saling bertautan.6 Pertama, kebebasan setiap orang dari kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan. Kedua, kebebasan tanah air dari penguasaan kaum imperialis. Ketiga, emansipasi ekonomi, politik dan sosial keseluruhan dunia Arab. Qaddafi memperlihatkan mutlaknya pembebasan dari kekuatan imperialis untuk mencapai kebebasan dari kemiskinan dan kebodohan.
Dalam implementasi, pasca revolusi, Qaddafi langsung memusatkan upaya pembebasan dari simbol-simbol kekuasaan luar. Misalnya, pada 19 September 1969, RCC (Dewan Revolusi) yang dikomandani Qaddafi mengeluarkan perintah bahwa seluruh tanda, kartu, tiket di Libya harus ditulis hanya dengan Bahasa Arab. Beberapa waktu kemudian, RCC membidik isu yang lebih besar, yakni memaksa kuku imperialis Amerika dan Inggris hengkang dari Libya. Pada 29 Oktober 1969, Qaddafi menutup markas militer Inggris di Libya dan mengusir tentara-tentaranya. Sehari kemudian, giliran Qaddafi melikuidasi Wheelus Air Force Base, markas militer milik AS.
Tak tanggung-tanggung, Qaddafi juga melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing. Pada 14 November 1969, Qaddafi menasionalisasi bank-bank dan rumah sakit asing. Lalu pada 1971, ia menasionalisasi perusahaan minyak Inggris, British Petroleum. Menandai ulangtahun keempat Revolusi Al-Fateh, yakni 1 September 1973, Libya mengumumkan undang-undang nasionalisasi menyeluruh. Di situ, pemerintah menguasai 51 persen seluruh aset dan bisnis perusahaan minyak dan seluruh partner operator yang ada. “Hak untuk menasionalisasi perusahaan adalah hak dasar bagi seluruh negara dengan cadangan minyak,” kata Qaddafi.7
Konsep persatuan dalam slogan revolusi itu tak bisa dilepaskan dari sikap antikolonialisme Qaddafi. Berulang-ulang, Qaddafi menegaskan, kolonialisme telah merusak kesatuan bangsa-bangsa Afrika dan bangsa-bangsa Arab. Hingga saat ini, Qaddafi tetap mempertahankan pandangan ini. “Biang masalahnya adalah kekuatan kolonial yang telah memecah-belah Afrika,” tandas Qaddafi dalam sebuah pidato di Oxford tahun 2007.
Qaddafi yakin, Afrika sesungguhnya merupakan satu kesatuan besar. Namun kolonialisme telah membuatnya menjadi 50 negara, dengan batas-batas yang kabur dan membingungkan. Batas-batas ini telah memisahkan suku-suku Afrika dalam dua atau tiga negara terpisah. Ujungnya, muncul konflik. Kolonialisme telah menyebabkan banyak konflik. Somalia misalnya. “Siapa yang memisahkannya menjadi bagian Italia dan Inggris? Kolonialisme,” ujar Qaddafi.
Untuk mengatasi problem ini, Qaddafi menandaskan perlunya integrasi yang jenuin. Persatuan menjadi mutlak. Semenjak Revolusi 1969, Qaddafi getol menggemakan pemikiran ini. Ia memprakarsai berbagai upaya pemersatuan bangsa-bangsa Arab. Pada 27 December 1969, misalnya, Qaddafi mencanangkan Piagam Tripoli (Tripoli Charter) yang mempersatukan Libya, Mesir dan Sudan. Ketiga negara ini menyatukan diri sebagai Front Revolusioner Arab. Mereka membentuk komite bersama dan sistem keamanan bersama. Antar negara melonggarkan sistem cukai, aliran tenaga kerja dan membangun kerjasama-kerjasama teknis lain.
Tak lama kemudian, persisnya 17 April 1971, Qaddafi memprakarsai pembentukan Federasi Republik-Republik Arab (Federation of Arab Republics), yang memadukan Libya, Mesir dan Syria. Federasi ini memiliki kerangka kerja bersama dalam kebijakan luar negeri mereka, meski tetap independen dalam menjalin hubungan diplomatik masing-masing dengan negara-negara luar. Melalui federasi ini, sebenarnya direncanakan adanya satu kepemimpinan bersama, penyatuan parlemen, dan sebagainya. Pendeknya, struktur politik bersama. Namun, berbagai hambatan membuat cita-cita Qaddafi tersebut tak terwujud.
Toh, Qaddafi tak surut langkah. Cita-cita pemersatuan bangsa-bangsa Arab terus menuntun langkah-langkahnya. Pada 1984, misalnya, Libya dan Maroko mengumumkan sebuah federasi yang dikenal dengan Persatuan Arab-Afrika (Arab-African Union). Lima tahun kemudian, Libya bergabung dengan Aljeria, Mauritania, Maroko, dan Tunisia dalam Persatuan Arab Maghrib (Arab Maghrib Union).
Bagi Qaddafi, bangsa-bangsa Arab memiliki modal dasar kuat untuk membangun persatuan. Ada dua, yakni nasionalisme dan agama. Dalam Teori Universal Ketiga, sebuah rumusan filsafat politik yang diluncurkan pada 1973, Qaddafi memaparkan bahwa nasionalisme dan agama merupakan kekuatan puncak pendorong sejarah dan kemanusiaan. Nasionalisme dinilai sebagai ekspresi natural dari keanekaragaman ras dan budaya, sehingga mampu menjadi kekuatan yang produktif. Nasionalisme Arab dinilai memiliki akar yang mendalam dan kejayaan masa lalu yang luar biasa. Bangsa Arab merupakan produk dari peradaban tua yang mendasarkan diri pada universalitas pesan al-Quran.
Qaddafi meletakkan Islam dan Quran sebagai sesuatu yang sentral dalam Teori Universal Ketiga ini. Tapi pemahaman Qaddafi terhadap Islam berbeda dari kaum ortodoks di zamannya. Esensi agama bagi Qaddafi adalah keesaan Tuhan. Ia tidak membedakan antara pengikut Muhammad, Isa maupun Musa. Bagi Qaddafi, hanya satu agama, yakni Islam, maka semua pengikut monoteis bisa dinilai sebagai Muslim. Qaddafi yakin, Islam diturunkan bukan hanya kepada pengikut Muhammad, namun sebagai iman kepada Tuhan, Islam telah menyatupadu dalam semua agama. Setiap individu yang percaya pada Tuhan dan utusan-utusannya oleh Qaddafi dinilai sebagai Muslim.
Mengenai al-Quran, Qaddafi menyatakan bahwa setiap Muslim punya posisi setara dalam menafsir dan memahami al-Quran. “Quran ditulis dalam Bahasa Arab dan karenanya setiap orang Arab bisa membacanya dan menerapkannya sendiri, tanpa bantuan orang lain,” tandas Qaddafi. Qaddafi juga mengkritik hadis sebagai sumber hukum Islam, dengan alasan bahwa sumber nyata satu-satunya adalah al-Quran. Begitu pula, Qaddafi mengkritik mazhab-mazhab dalam hukum Islam, dengan dasar bahwa semua itu merupakan hasil dari gesekan kekuatan-kekuatan politik yang sedang bersaing, jadi tidak berhubungan dengan Islam maupun al-Quran.
Bagaimana dengan nasionalisme? Bagi Qaddafi, kebangsaan lebih penting. Ketika diperhadapkan pada pilihan antara keagamaan dan kebangsaan dalam membangun integrasi, Qaddafi lebih mengedepankan faktor kebangsaan Arab. “Jika kita mengadopsi solusi berdasarkan Nasionalisme Arab dan Persatuan Arab, kita akan mengabaikan masalah perbedaan sekte-sekte agama,” ujar Qaddafi dalam sebuah wawancara tahun 1973.8 Kebangsaan Arab, bagi Qaddafi, akan mampu merekatkan berbagai perbedaan. Sebaliknya, ketika faktor agama muncul, masalah juga muncul. Akan mulai timbul, misalnya, apakah seorang pemimpin itu Sunni atau Syi’ah, dan seterusnya.
Nasionalisme Arab, atau Persatuan Arab, berarti integrasi keseluruhan Arab. “Kita menolak, misalnya, persatuan bangsa-bangsa Arab Afrika saja, atau Arab Asia saja,” kata Qaddafi.9 Begitu pula, Persatuan Arab ini tidak memandang apakah Arab Muslim atau Arab Kristiani. “Kita menyeru Persatuan Arab, bukan Persatuan Islam di Dunia Arab. Ketika kita mengatakan Persatuan Arab, itu berarti seluruh Muslim maupun Kristiani yang terlibat dalam memperjuangkan persatuan ini,” imbuh Qaddafi.
Menentang Kapitalisme, Melampaui Komunisme
Dalam membangun Indonesia, Soekarno tidak mau terjebak pada dominasi dua ideologi besar dunia saat itu: kapitalisme dan komunisme. Demikian pula Qaddafi. Melalui Teori Universal Ketiga, Qaddafi mengembangkan alternatif dari kapitalisme dan komunisme. Keduanya tidak sesuai dengan situasi Libya.
Baik kapitalisme maupun komunisme, bagi Qaddafi, berwatak monopolistik. Kapitalisme merupakan monopoli kepemilikan di tangan kaum kapitalis, sedangkan komunisme merupakan monopoli kepemilikan di tangan negara. Karena itu, Qaddafi memposisikan Amerika Serikat maupun Uni Soviet tak lebih sebagai negeri imperialis yang berupaya menancapkan kuku di tanah Timur Tengah.
Qaddafi menolak eksploitasi kelas dalam kapitalisme dan pertarungan kelas dalam komunisme. Keduanya tetap didasarkan pada dominasi sekelompok kecil elit. Bagi Qaddafi, kategori kelas merupakan sesuatu yang artifisial yang diimpor lewat kolonial. Melalui Teori Universal Ketiga, Qaddafi menolak sebuah bentuk hubungan kelas, dan justru hendak menghilangkan perbedaan kelas. Alternatifnya ada pada prinsip Islam yang bernama syura, musyawarah. Urusan nasional maupun urusan komunitas diputuskan lewat musyawarah bersama yang seluruh warga negara bisa bertukar pendapat secara langsung.
Qaddafi tidak saja melanjutkan gagasan nonblok, seperti yang diprakarsai Soekarno dan Nasser. Tapi juga menginginkan, negara-negara Dunia Ketiga berhubungan secara setara terhadap Amerika Serikat maupun Uni Soviet. Dunia Ketiga mampu membuat perjanjian-perjanjian dengan kedua negara tersebut berdasarkan tujuan dan sasaran sendiri. Qaddafi menegaskan, Dunia Ketiga, khususnya negara-negara Arab, harus tidak lagi jatuh dalam dominasi kedua negara adidaya tersebut.
Karena itu, ideologi alternatif menjadi mutlak diperlukan. Bagi Qaddafi, Islam menjadi sumber alternatif yang jenuin. Apalagi, dalam dunia Arab, agama merupakan penggerak utama tindakan-tindakan dalam masyarakat. “Kita tidak bisa menolak bahwa agama merupakan faktor esensial dalam hidup seluruh rakyat,” kata Qaddafi.10 Sejarah, bagi Qaddafi, merupakan “hasil dari hubungan antara agama dan nasionalisme”. Kedua faktor inilah yang menjadi basis sosial Teori Universal Ketiga, ideologi alternatif yang dibangun Qaddafi itu. “Kita tidak setuju dengan penafsiran komunisme atas sejarah, yang sangat materialis, didasarkan melulu pada dialektika materialisme dan gerak ekonomi,” jelas Qaddafi.
Lebih lanjut, menurut Qaddafi, jika agama adalah basis dari individual, nasionalisme adalah basis dari masyarakat. Dalam Quran jelas disebut bahwa suku dan bangsa merupakan bagian tak terpisahkan dari tata dunia. Setiap orang merupakan bagian dari suatu bangsa sejak lahir. Baru kemudian ia secara sadar memilih sebagai salah satu anggota agama. Karena itu pula Qaddafi menilai, mereka yang menolak validitas nasionalisme, yang dalam hal ini Pan-Arabisme, adalah salah. Begitu pula yang menolak agama. “Mengapa harus menolak agama? Tahukah apa yang terjadi pada mereka yang mencoba menolak? Coba telusuri seluruh wilayah Arab dan berteriaklah ‘Tuhan’, maka setiap orang akan menyambut teriakanmu.”11
Namun demikian, Qaddafi ini tak serta merta beralih posisi ke blok kapitalisme. Monopoli kepemilikan ala kapitalisme tidak bisa ditolerir oleh Qaddafi. Mau tak mau, Qaddafi perlu membangun fondasi yang berbeda. Di sini, seperti halnya Soekarno, Qaddafi memilih sosialisme yang didasarkan pada akar-akar lokal. Qaddafi yakin, sosialisme memiliki watak-watak yang sudah ditemukan dalam negeri sendiri. “Sosialisme telah mengakar pada bangsa Libya,” demikian Qaddafi berulang menegaskan. Sosialisme Libya memang berbeda dari sosialisme yang dikenal selama ini. Sosialisme Libya memiliki basis Islam. Dalam Islam, setiap muslim berkewajiban untuk membayar zakat, membagi hartanya pada orang lain.
Pemikiran semacam ini di antaranya yang membuat Qaddafi melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dan membatasi kepemilikan pribadi. Kesejahteraan sosial menjadi prioritas. Pemerintahan Qaddafi menjalankan program-program prorakyat, semisal pembangunan perumahan rakyat, perbaikan layanan kesehatan, dan peningkatan pendidikan.
Bagi Qaddafi, seperti tertuang dalam bagian kedua The Green Book, buku yang menjabarkan lebih detil Teori Universal Ketiga, kebutuhan dasar rakyat adalah rumah, penghasilan (income), dan kendaraan. Pola penyewaan rumah dan kendaraan tak lain merupakan bentuk dominasi atas kebutuhan dasar orang lain. Kepemilikan tanah terlarang. Sebab tanah sejatinya merupakan kepemilikan masyarakat, bukan kepemilikan individual. Qaddafi juga menandaskan, akumulasi kekayaan di atas kebutuhan dasar individu merupakan bentuk eksploitasi. Alasannya, masyarakat akan menderita kekurangan kebutuhan dasar, sebab akumulasi kekayaan di atas kebutuhan dasar hanya bisa dilakukan dengan mengorbankan kebutuhan dasar orang lain.
Melalui The Green Book bagian kedua yang diberi judul “Solusi atas Problem Ekonomi: Sosialisme” itu, Qaddafi berupaya mengembangkan teori sosialisme ‘natural’ yang berdasarkan pada kesejajaran antara apa yang ia sebut sebagai tiga faktor ekonomi produksi: bahan mentah, alat produksi dan produsen.
Bagi Qaddafi, ketiga hal ini sama-sama penting dalam proses produksi. Karenanya, setiap orang punya hak atas pembagian merata atas hasil yang diproduksi. Masalah dalam pendekatan sosialisme lama adalah, bagi Qaddafi, mereka terlalu fokus pada soal kepemilikan, upah, atau satu saja dari faktor-faktor produksi. Akibatnya, mereka gagal membidik masalah dasar ekonomi, yakni produksi itu sendiri.
Qaddafi mendukung penghapusan sistem upah maupun sistem ekonomi berorientasi profit. Buruh upahan tak ubahnya budak, dan karenanya ini harus dihilangkan, diganti dengan hubungan partner produksi. Begitu pula, pembantu rumah tangga merupakan budak zaman modern.
Prinsip-prinsip sosialisme Qaddafi tidak sekadar di atas kertas, melainkan juga tertuang dalam kebijakan dan peraturan. Sejak Maret 1978, seluruh rakyat Libya memiliki hak atas rumah sendiri, dan dibatasi hanya satu rumah. Beberapa bulan kemudian, buruh-buruh mengambil alih sekitar 200 perusahaan. Pada 1978-79 dilakukan land reform, reformasi kepemilikan tanah.
Demokrasi Langsung, Antielitisme
Seperti halnya Soekarno, Qaddafi lebih mengedepankan sistem politik yang egalitarian. Sistem politik semacam ini memposisikan elemen-elemen masyarakat dalam posisi duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Qaddafi membangun sebuah sistem yang disebut “demokrasi langsung”. Dalam sistem ini, seperti yang dirumuskan Qaddafi dalam The Green Book-nya, warga negara mengatur diri mereka sendiri lewat aktivitas-aktivitas akar rumput tanpa mediasi lembaga negara, atau hierarki organisasi seperti militer, kesukuan, ulama, maupun akademik.
Sistem politik semacam itu disebut Qaddafi dengan istilah “jamahiriyyah”. Secara harafiah, jamahiriyyah berarti “kerakyatan”, atau “kedaulatan rakyat”. Sarjana Amerika Lisa Anderson12 menyarankan makna jamahiriyyah sebagai “kerakyatan” atau “negara massa”. Qaddafi memaksudkannya sebagai sistem politik dimana negara dijalankan langsung oleh rakyat, tanpa intervensi birokrasi pemerintahan. Pada 2 Maret 1977, Qaddafi secara resmi mengeluarkan Deklarasi Pembentukan Kedaulatan Rakyat. Libya sendiri diberi nama lengkap Rakyat Sosialis Arab Libya Jamahiriyyah.
Dalam mewujudkan politik antielitisme itu, Qaddafi menggunakan gagasan ‘komite rakyat’ dan ‘kongres rakyat’. Unit ini tidak hanya bertanggung jawab membuat legislasi, melainkan juga eksekusinya di level akar rumput. Bagi sejumlah pengamat, gagasan Qaddafi ini sangat mirip dengan teori politik Jean-Jacques Rousseau.13 Ada kesamaan bahwa keduanya yakin pada kesetaraan dan kekuasaan langsung rakyat. “Definisi demokrasi lama—bahwa demokrasi adalah supervisi terhadap pemerintahan oleh rakyat—ketinggalan zaman. Ia akan diganti dengan definisi sesungguhnya: demokrasi adalah supervisi terhadap rakyat oleh rakyat,” tandas Qaddafi.14
Konkritnya, setiap penduduk berusia 18 tahun ke atas, pada masing-masing zona, memilih—dan berhak dipilih—‘komite rakyat’ mereka sendiri, yang akan menangani urusan-urusan masyarakat di zona mereka sendiri. Proses pemilihan dipraktikkan secara terbuka. Artinya, tidak ada bilik suara maupun kotak suara tertutup. Pemilihan dilakukan dengan mengangkat tangan atau masuk ke blok ‘ya’ atau ‘tidak’.
Di tingkat kota, penduduk pun memilih Kongres Rakyat Dasar (Basic People’s Congress) di tingkat lokal. Lebih jauh, dalam mengatur wilayah kota, misalnya, Kongres akan memilih seorang ketua dan lima orang ‘komite rakyat kota’. Urusan-urusan mereka tidak diatur oleh penguasa ‘pusat’ atau pemerintahan nasional, melainkan oleh komite-komite yang dipilih penduduk sendiri. Inilah pengejawantahan konsep Qaddafi mengenai “kedaulatan rakyat”.
Sementara itu, di tingkatan nasional, kebijakan dibuat dari bawah ke atas. Kongres Rakyat Dasar dari berbagai penjuru membuat keputusan-keputusan terkait persoalan yang dihadapi rakyat. Keputusan-keputusan itu lalu diteruskan kepada Kongres Rakyat Umum (General People’s Congress) guna dipertimbangkan dan diimplementasikan sebagai kebijakan nasional.
Meski diperkokoh pada 1977, konsep ‘komite rakyat’ ini sudah diperkenalkan Qaddafi pada 1973, ketika Qaddafi melontarkan apa yang ia sebut “Revolusi Kebudayaan”. Qaddafi melakukan revolusi ini dengan tujuan memerangi birokrasi yang tidak efisien, mengedepankan partisipasi rakyat dalam sistem pemerintahan lokal maupun masalah-masalah koordinasi politik nasional. Tak sungkan-sungkan, Qaddafi menantang kaum revolusioner untuk melawan otoritas tradisional, mengambil alih kekuasaan mereka, dan menjalankan pemerintahan dengan tangan mereka sendiri. Jadilah ‘komite rakyat’ sebagai alat mencapai tujuan-tujuan ini.
Komite rakyat dibentuk secara geografis maupun fungsional. Secara geografis, komite dibentuk pada tiap-tiap zona, kota, dan propinsi. Pada tingkat zona, pemilihan langsung dilakukan guna mengisi kursi komite rakyat. Komite rakyat tingkat zona kemudian memilih orang-orang untuk duduk di komite rakyat level kota.
Selanjutnya, komite rakyat level kota memilih perwakilan-perwakilan guna membentuk sekretariat komite. Adapun secara fungsional, komite rakyat dibentuk di universitas, perusahaan swasta, birokrasi dan media penyiaran. Anggota memilih komite-komite mereka sendiri untuk mengelola urusan-urusan mereka sendiri.
Pembentukan sistem komite rakyat ini menandai perubahan signifikan dalam sejarah perpolitikan Libya. Ini pertama kali dalam sejarah Libya, sistem politik subnasional mendorong partisipasi rakyat dalam memilih pemimpin lokal, dan membolehkan keterlibatan lokal yang sungguh-sungguh dalam proses pengambilan keputusan.15
Sementara itu, di level nasional, konsep demokrasi langsung menjelma dalam Kongres Rakyat Umum. “Kongres Rakyat Umum bukanlah pertemuan orang per orang atau anggota per anggota seperti dalam sebuah parlemen,” tandas Qaddafi dalam The Green Book-nya, “melainkan, ia merupakan pertemuan antara komite-komite rakyat dan kongres-kongres rakyat.” Karena itu wajar bila Kongres diisi oleh elemen-elemen Kongres Rakyat Dasar dan komite-komite rakyat kota dan cabang kota, juga komite-komite rakyat dari asosiasi-asosiasi perusahaan, serikat mahasiswa, maupun asosiasi-asosiasi profesional. Jumlah anggotanya berkisar 2.700 orang.
Kongres Rakyat Umum menggelar sidang tahunan, yang biasanya berlangsung selama dua minggu pada Januari atau Februari. Ini menjadi forum utama untuk membahas dan menetapkan perencanaan, program, dan kebijakan nasional. Rincian tanggung jawab implementasi oleh kongres-kongres rakyat, komite-komite rakyat, asosiasi-asosiasi, serikat-serikat pekerja, dan sebagainya juga ditetapkan di forum ini.
Untuk mengimplementasikan keputusan-keputusannya, Kongres memiliki unsur-unsur. Kepala pelaksananya disebut Sekretaris Jendral, yang diduduki oleh Qaddafi sendiri pada tahun-tahun awal pendeklarasian Jamahiriyya. Kongres juga membentuk Sekretariat Jendral yang terdiri atas 5 orang dengan fungsi semacam staf pelaksana dan badan penasehat. Di luar itu, dibentuk pula Komite Umum Rakyat yang terdiri atas sejumlah sekretaris dengan peran semacam menteri-menteri dalam kabinet.
Pelaksanaan keputusan-keputusan politik hingga level akar rumput tentu membutuhkan pengawas. Siapa yang mengawasi? Qaddafi menggagas Komite Revolusi pada 1977. Komite ini bertugas melakukan “supervisi revolusioner” dari kedaulatan rakyat. Ia memberi arahan pada komite-komite rakyat, membangun kesadaran politik dan menjaga komitmen paga aksi-aksi revolusioner. Komite ini dibentuk di mana-mana. Ia ada di departemen-departemen pemerintahan, di dalam Kongres Rakyat Dasar, komite-komite rakyat, serikat-serikat buruh, asosiasi-asosiasi profesional, gerakan-gerakan mahasiswa, dan seterusnya.
Singkat kata, Qaddafi menginginkan ‘demokrasi langsung’ berjalan di segala level proses politik. Sehingga, apa yang dicita-citakan sebagai kedaulatan rakyat (jamarihiyyah) dapat terwujud nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Senafas dengan Soekarno
Deskripsi di atas memperlihatkan dengan jelas, selain terinspirasi oleh Nasser, pemikiran-pemikiran Qaddafi memiliki kedekatan istimewa dengan konsep-konsep Soekarno. Soekarno menawarkan perpaduan antara sosialisme, nasionalisme dan Islam, yang pada akhirnya memberi warna sosialisme yang khas Indonesia. “Sosialisme kami adalah sosialisme yang dikurangi dengan pengertian materialistisnya yang ekstrim,” tandas Soekarno dalam biografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, “karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang terutama takut dan cinta kepada Tuhan. Sosialisme kami adalah suatu campuran.”
Di mata Soekarno, Indonesia memiliki jiwa, watak, dan budaya yang berbeda, sehingga tidak bisa serta merta mengadopsi sosialisme Eropa. “Kami menarik persamaan spiritual dari Islam dan Kristen,” ujar Soekarno, “Kami menarik persamaan ilmiah dari Marx. Ke dalam campuran yang tiga ini kami tambahkan kepribadian nasional: Marhaenisme. Kemudian kami memercikkan ke dalamnya gotong-royong yang menjadi jiwa inti daripada bekerja bersama, hidup bersama dan saling bantu-membantu. Kalau ini dicampurkan semua, maka hasilnya adalah Sosialisme Indonesia.”
Sosialisme Indonesia yang digagas Soekarno ini, atau yang kemudian lebih dikenal dengan Marhaenisme, sudah diperkenalkan sejak 1926 melalui tulisannya “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme”. Soekarno hendak memadukan ketiga ideologi yang menguat saat itu, yakni Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. “Bukannya kita mengharap yang nasionalis itu supaya berubah paham menjadi Islamis atau Marxis,” tulis Soekarno, “bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan tersebut.”
Soekarno menegaskan agar kaum nasionalis bekerjasama dengan kaum Islam. Nasionalis sejati, di mata Soekarno, bukanlah seorang chauvinis. Kecintaan seorang nasionalis sejati pada tanah air bersendi pada pengetahuan, bersandar atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, bukan pada semata kesombongan belaka—chauvinis. Karenanya, kaum nasionalis harus mampu bekerja sama dengan sesama pejuang tanah air sejati, tak terkecuali kaum Islam. “Adakah keberatan untuk kaum nasionalis yang sejati bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, oleh karena Islam itu melebihi kebangsaan dan melebihi batas-negeri ialah super-nasional super-teritorial?” Soekarno seperti hendak menangkap perasaan kaum nasionalis yang enggan bergandeng tangan dengan Islam.
Segera Soekarno mengingatkan kaum nasionalis bahwa di berbagai negara Asia para pejuang penentang penjajahan adalah kelompok-kelompok Islam. Mereka sama-sama melawan kapitalisme dan imperialisme Barat. Dengan demikian, tegas Soekarno, kelompok Islam adalah kawan bagi kaum nasionalis, bukan lawan. Begitu pula sebaliknya, terhadap kelompok Islam, Soekarno juga mengajak berangkulan dengan kaum nasionalis. ”Bukankah, sebagai yang sudah kita terangkan, Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat diantara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam?”
Seolah menangkap keraguan kelompok Islam, Soekarno kembali menandaskan bahwa di mana-mana orang Islam bertempat di situlah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya. Kelompok Islam juga harus mampu berdampingan dengan kaum sosialis Marxis. ”Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu ialah musuh Islamisme pula!” Soekarno mengingatkan, Islam sebenarnya juga mengadung tabiat-tabiat sosialistis, meskipun pada Islam asas yang digunakan berbeda, yaitu spiritualisme, sedangkan pada sosialisme Marxis dasarnya pada perbendaan atau materialisme.
Baik sosialisme dalam Islam maupun dalam Marxisme, lanjut Soekarno, sama-sama menentang ekspolitasi kapitalisme. “Sebab meerwaarde sepanjang paham Marxisme dalam hakikatnya tidak lainlah dari pada riba sepanjang paham Islam. Meerwaarde ialah teori: memakan pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung tersebut.” Karena itu, ujar Soekarno, Islamis sejati tak layaklah memusuhi paham Marxisme yang melawan peraturan meerwaarde tersebut, sebab Islam yang sejati juga memerangi peraturan itu. “Bahwa Islam yang sejati melarang keras akan perbuatan memakan riba ... bahwa riba ini pada hakikatnya tiada lain daripada meerwaarde-nya paham Marxisme itu.”
Di sisi lain, Soekarno juga mengajak kaum Marxis untuk tidak menolak kelompok Islam. ”Disini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka, disini agama Islam adalah adalah agama kaum yang ‘di bawah’,” tandas Soekarno, “Tidak boleh tidak, suatu agama yang anti kapitalis, agama kaum yang tak merdeka, agama kaum yang ‘di bawah’ ini, agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum bawahan, dan pastilah menimbulkan suatu perjuangan yang dalam beberapa bagian sesuai dengan kaum Marxisme itu.”
Bagi Soekarno, Marxisme yang tidak mau bekerja sama dengan kaum nasionalis dan kelompok Islam adalah kuno, ketinggalan jaman. “…Marxis yang kolot teori dan kuno taktiknya,” ujarnya. Marxisme yang memusuhi pergerakan kaum nasionalis dan Islamis yang sejati dikritik keras Soekarno. “Marxis yang demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun rakyat adanya!”
Kedekatan sikap dan pemikiran Qaddafi dengan Soekarno tidak saja mencakup soal warna sosialisme yang menggabungkan situasi lokal. Sikap keduanya terhadap kolonialisme juga senafas. Meski lahir dan hidup dalam dekade berbeda, sikap antikolonialisme Qaddafi maupun Soekarno serupa. Soekarno muda tumbuh dengan sikap antikolonialisme yang tegas.
Robert Dahm, dalam Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, berpendapat bahwa kreativitas Soekarno sebagai pemikir tentang nasionalisme dan penentang kolonialisme memuncak pada 1926-1927. Menurut Dahm pula, ada dua karakter yang menonjol pada Soekarno, yakni pertama, pemersatu ulung, dan kedua, anti-imperialis yang militan.
Wajar saja, sebab Soekarno sendiri memandang, motivasi pokok dari kolonialisme adalah eksploitasi ekonomi. Kolonialis Eropa datang ke Asia dan Afrika tak lain hanya untuk, dalam bahasa Soekarno, “mengisi perutnya yang keroncong belaka”.16
Agar gagasan antikolonialismenya mudah dipahami khalayak, Soekarno menggunakan perumpamaan lokal. Kata dia, kolonialisme, atau kadang disebut imperialisme, tak ubahnya “Nyi Blorong”, atau ular naga.17 Kepala sang naga berada di Asia dan Afrika, menyerap berbagai kekayaan alam yang ada. Sedangkan tubuh dan ekor sang naga berada di Eropa, menikmati hasil serapan tersebut.
Imperialisme, bagi Soekarno, erat terkait dengan kapitalisme. Baik kaum imperialis maupun kapitalis tak segan-segan mengisap orang lain. Melalui kolonialisme, para kapitalis Eropa mengisap habis-habisan sumberdaya manusia dan kekayaan alam negeri-negeri Asia dan Afrika. Kapitalisme ini, kata Soekarno, tumbuh sedemikian rupa hingga menciptakan barang-barang berlebih. Barang-barang yang sebelumnya diimpor dari Timur berbalik diekspor ke Timur. “Jadi, Timur menjadi pasar-pasar tambahan untuk barang-barang berlebih,” tulisnya dalam Bung Karno.
Selanjutnya, liberalisme dalam ekonomi membawa liberalisme dalam politik. Untuk mengendalikan ekonomi dari negara lain, terlebih dahulu negara itu harus ditaklukkan. “Bangsa-bangsa Asia-Afrika dijajah dan kelobaan ini membuka pintu kepada jaman Imperialisme,” tandas Soekarno.
Ia menjelaskan bagaimana Jawa diduduki pada abad ke-16, Maluku pada abad ke-17, lalu perlahan Belanda merambah seluruh kepulauan hingga Bali yang baru ditundukkan pada 1906. Imperialisme menancap lebih dalam hingga ke wilayah budaya, mengikis kepribadian bangsa. “Musnahlah putera-puteri harapan bangsa dari suaru bangsa yang besar yang pandai melukis, mengukir, membuat lagu, menciptakan tari,” imbuh Soekarno.
Jelaslah bagi Soekarno, imperialisme ekonomi beriringan dengan imperialisme politik, bahkan imperialisme budaya. Imperialisme ekonomi melakukan pengisapan orang dan kekayaan alam, imperialisme politik menopang dan melanggengkannya lewat kekuasaan, dan imperialisme budaya menundukkan jiwa dan kepribadian bangsa.
Pengetahuan, bagi Soekarno, juga tak luput dari kuasa imperialisme. Soekarno mencontohkan pengetahuan tentang sistem irigasi. Di akademi waktu itu, yang dipelajari bukan tentang bagaimana cara mengairi sawah sebaik-baiknya. Tapi hanya tentang sistem pengairan tebu dan tembakau. “Ini adalah irigasi untuk kepentingan imperialisme dan kapitalisme,” tandas Soekarno. Sistem pengetahuan macam ini tidak untuk memberi makan rakyat banyak yang kelaparan. Tapi untuk membikin gendut pemilik perkebunan.
Begitu pula tentang pengetahuan teknik membangun jalan. “Tidak mungkin dapat menguntungkan rakyat,” ujar Soekarno. Pengetahuan diarahkan untuk merencanakan jalan-jalan tambahan sepanjang pantai dari pelabuhan ke pelabuhan. Tujuannya? Agar pabrik-pabrik dapat mengangkut hasil mereka secara maksimal.
Soekarno muda pernah memrotes rektornya di ITB. “Mengapa kami diisi dengan pengetahuan-pengetahuan yang hanya berguna untuk mengekalkan dominasi kolonial terhadap kami?” tanya Soekarno kepada Prof. Ir. G. Klopper M.E, rektor Sekolah Tinggi Teknik (kini ITB).
“Sekolah Tinggi ini,” jawab sang rektor, “didirikan terutama untuk memajukan politik Den Haag di Hindia. Supaya dapat mengikuti kecepatan ekspansi dan eksploitasi, pemerintah saya perlu untuk mendidik lebih banyak insinyur dan pengawas yang berpengalaman.”
“Dengan perkataan lain, kami mengikuti perguruan tinggi ini untuk memperkekal politik Imperialisme Belanda di sini?”
“Ya, Tuan Soekarno. Itu benar,” sahut Klopper.18
Tanya-jawab itu rupanya kian mengukuhkan sikap antikoloniasme Soekarno. Sikapnya semacam ini tidak berubah bahkan setelah kemerdekaan republik. Pada 17 Mei 1956, yang ketika itu Qaddafi remaja dikobarkan pidato-pidato rekan Soekarno, Gamal Abdul Nasser, Soekarno berpidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan resminya. Soekarno menyerang kolonialisme. “Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme,” kata Bung Karno, “telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad.”19
Tetapi, perjuangan belum selesai, kata Soekarno. “Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?”20
Beberapa tahun kemudian, persisnya 30 September 1960, Soekarno berpidato di depan Sidang Umum PBB ke-15. Ia menegaskan kembali penentangannya terhadap kolonialisme. “Tengoklah sekeliling dunia kita ini,” tandas Soekarno merujuk pada negeri-negeri Asia dan Afrika. “Di banyak tempat terdapat ketegangan-keteganan dan sumber-sumber sengketa potensiil. Perhatikanlah tempat-tempat itu dan tuan akan jumpai, bahwa hampir tanpa perkecualian, imperialisme dan kolonialisme di dalam salah satu dari banyak manifestasinya adalah sumber ketegangan atau sengketa itu.”
Kita tahu, kata-kata serupa di kemudian hari kita dengar kembali, dan kali ini keluar dari mulut Qaddafi. “Begitu banyak konflik di benua (Afrika) ini yang kita mintakan nyaris tiga-perempat kekuatan PBB untuk menyelesaikannya. Dan dalang utamanya adalah kekuatan kolonial yang memecah-belah Afrka,” ujar Qaddafi di depan mahasiswa Universitas Oxford, Mei 2007.
Baik Soekarno maupun Qaddafi menginginkan, perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme memerlukan persatuan bangsa-bangsa dunia ketiga. Mark T Berger, pengamat politik internasional dari Australia, memaparkan kesamaan Soekarno dan Qaddafi dalam kancah ‘politik dunia ketiga’. Bagi Berger, Soekarno merupakan generasi pertama gerakan Third Worldism, sedangkan Qaddafi generasi kedua.21
Titik penting yang menjadi dasar identifikasi Berger adalah Konferensi Bandung, atau juga disebut Konferensi Asia Afrika, tahun 1955. Generasi pertama, yakni era 1950an dan 1960an, adalah penggagas dan penggerak Konferensi Bandung serta pendiri Gerakan Non Blok. Adapun generasi kedua, yakni era 1970an dan 1980an, adalah para penerus yang membawa spirit nonblok dalam melawan pola-pola baru kolonialisme dan imperialisme. Di antara yang terdepan dari generasi kedua ini, menurut Berger, selain Qaddafi adalah Fidel Castro dari Cuba, Amerika Latin.
Semangat, atau juga bisa disebut ambisi, Qaddafi untuk menyatukan bangsa-bangsa Afrika maupun Arab, boleh jadi sangat dipengaruhi Soekarno, yang berambisi menyatukan Asia-Afrika melawan kolonialisme. Peran Soekarno dalam memprakarsai Konferensi Bandung, yang menyatukan 29 negara di Asia dan Afrika itu, memang diakui dunia. “Bagi banyak pemimpin bangsa dan tokoh angkatan tua gerakan progresif berbagai negeri Asia-Afrika,” tulis A Umar Said22, “Bandung dan Soekarno adalah dua nama tetap, sampai sekarang, tertanam secara terhormat dalam ingatan mereka.”
Menurut A Umar Said, para pemimpin perjuangan rakyat senantiasa menyebut-nyebut nama Soekarno dan Bandung dalam pidato-pidato mereka. Sebut saja, di antaranya, Gamal Abdul Nasser (Mesir), Anwar Sadat (Mesir), Ahmad Ben Bella (Aljazair), L. Sedar Senghor (Senegal), Modibo Keita (Mali), Sekou Touré (Guinea), Dr. Kwame Nkrumah (Ghana), Patrice Lumumba (Conggo), Mugabe (Zambia), Julius Nyerere (Tanganyika, yang kemudian menjadi Tanzania), Salim Ahmad Salim (Zanzibar, yang kemudian menjadi Sekjen OAU – Organisasi) Persatuan Afrika), dan Nelson Mandela (Afrika Selatan).
Konferensi yang diselenggarakan pada 18-25 April 1955 itu memang membutuhkan persiapan panjang. Soekarno senantiasa mengajak rakyat Indonesia mengikuti upaya-upaya tersebut lewat media, terutama RRI waktu itu. Pada April 1954, misalnya, Soekarno mengutus Ali Sastroamidjoyo di Konferensi Kolombo, Srilanka, yang dihadiri pemimpin negara-negaea dunia ketiga antara lain Jawaharlal Nehru (India), U Nu (Birma), Mohamad Ali (Pakistan), dan John Kotewal dari Srilanka sendiri. Hasil konferensi ini kemudian dibawa ke konferensi Panca Negara di Bogor pada Desember 1954. Dari sini ditetapkanlah acara konferensi Asia-Afrika di Bandung itu, berikut rumusan tujuan dan negara-negara yang diundang.
Ketika itu, negara-negara di Afrika masih banyak yang belum merdeka, masih di bawah jajahan negara-negara Eropa. Maka, dari 29 negara yang hadir di Bandung, hanya terdapat 6 negara dari Afrika, yakni Mesir, Sudan, Libya, Liberia, Ghana, dan Ethiophia. Tapi justru dari sinilah kemudian kobaran semangat pembebasan dari kolonialisme menggelora di Afrika, terutama lewat pidato-pidato Nasser.
Tak heran jika ‘semangat Bandung’ ini kemudian menular ke Qaddafi. Filosofi Qaddafi mengenai persatuan bangsa-bangsa terjajah, atau bekas terjajah, di Arab dan Afrika, cukup jelas memperlihatkan hal tersebut. Bahkan, pola-pola mengorganisasi persatuan juga mirip. Lihatlah bagaimana Qaddafi memprakarsai Federasi Republik-Republik Arab, Persatuan Arab Maghribi, hingga Persatuan Arab-Afrika. Seolah-olah, spirit Bandung, ruh Soekarno, hadir di sini. *
Tulisan Revolusi Qaddafi,Ruh Soekarno pertama kali dipublikasikan di blog Mujtaba Hamdi . Ia dibuat pada awal 2009 sebagai calon salah satu bab dalam sebuah buku mengenai interkoneksi politik dan budaya Libya dengan Indonesia. Oleh sebab satu dan lain hal, rencana penerbitan buku tersebut ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Catatan:
1. Arfi Bambani Amri, “Lawatan ‘Non Blok’ Megawati ke 3 negara di Afrika Utara”, detik.com, Rabu 7 November 2007.
2. Tiga prinsip dalam Trisakti Soekarno adalah berdaulat dan bebas dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Seperti nanti kita lihat, prinsip Sosialisme Qaddafi setara dengan gagasan berdikari dalam ekonomi milik Soekarno, Kebebasan senada dengan berdaulat dan bebas dalam politik, dan Persatuan mirip dengan pembentukan karakter bangsa.
3. Lihat Brenda Lange, Muammar Qaddafi - Major World Leaders (Philadelphia: Chelsea House Publishers, 2005), hlm 36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar