Praktek outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat, sebagai berikut:
1) Perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat secara tertulis;
2) Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat:
a.Apabila bagian pekerjaan tersebut terpisah dari kegiatan utama;
b.Bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang, dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama perusahaan secara keseluruhan sehingga kala dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi secara langsung; dan
c.Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan.
Semua persyaratan diatas bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka bagian pekerjaan tersebut tidak dapat dioutsourcingkan.
3) Perusahaan penerima pekerjaan harus BERBADAN HUKUM. Ketentuan ini diperlukan karena banyak perusahaan penerima pekerjaan yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak pekerja sebagaimana mestinya sehingga pekerja menjadi terlantar. Oleh karena itu BERBADAN HUKUM menjadi sangat penting agar tidak bias menghindar dari tanggung jawab. Dalam hal perusahaan penerima pekerjaan tidak berbadan hokum dan bagian pekerjaan yang dioutsourcingkan tidak memenuhi syarat sebagaimana tersebut diatas, maka status hubungan kerja yang semula dengan perusahaan penerima pekerjaan, demi hokum beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan;
4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja pada perusahaan penerima pekerjaan sekurang-kurangnya sama dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja dimaksudkan agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja, baik perusahaan pemberi maupun di perusahaan penerima pekerjaan karena pada hakekatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat-syarat kerja, upah, perlindungan kerja yang lebih rendah.
5) Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja dengan perusahaan penerima pekerjaan dan dituangkan dalam Perjanjian Kerja Tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya PKWTT(Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu)/tetap, akan tetapi dapat pula dilakukan PKWT(perjanjian Kerja Waktu Tertentu)/kontrak apabila memenuhi semua persyaratan baik formal maupun materiiil sebagaimana diatur dalam pasal 59 UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003. Dengan demikian maka hubungan kerja pada outsourcing tidak selalu dalam bentuk PKWT/kontrak, apalagi akan sangat keliru kalau ada yang beranggapan bahwa outsourcing selalu dan sama dengan PKWT.
Perusahaan penyedia jasa pekerja, yang merupakan salah satu bentuk dari outsourcing, harus dibedakan dengan LEMBAGA PENEMPATAN TENAGA KERJA SWASTA(labour supplier) sebagaimana diatur dalam pasal 35, 36, 37, 38 UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003, dimana apabila tenaga kerja telah ditempatkan, maka hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja dengan perusahaan pemberi kerja, bukan dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta tersebut.
Dalam pelaksanaan penyediaan jasa pekerja, perusahaan pemberi kerja tidak boleh mempekerjakaan pekerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan dimaksud antara lain: Usaha pelayanan kebersihan, usaha penyediaan makanan bagi pekerja, usaha tenaga pengamanan, usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja.
Disamping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyedia jasa pekerja bertanggung jawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar