Jumat, 26 April 2013
Muhaimin Hadiri Pertemuan Menteri Tenaga Kerja negara-negara OKI di Azerbaijan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menghadiri Pertemuan Menteri-menteri Tenaga Kerja Organinasi Kerjasama Islam (OKI/ Organisation of Islamic Cooperation (OIC)) yang diadakan di Baku, Azerbaijan pada 25-26 April 2013 . Konferensi internasional ini dihadiri 57 negara yang menjadi anggota OKI.
Pertemuan ke-2 para menteri tenaga kerja yang tergabung dalam OKI ini merupakan lanjutan dari Pertemuan ke-I tahun 2011 di Istanbul Turki yang diketuai Saudi Arabia. Pertemuan kali ini mengambil tema utama “Kerja Layak menuju Kesejahteraan Sosial yang Berkelanjutan” ("Decent Work for Sustainable Social Welfare")
“Pertemuan Menaker OKI ini dilatarbelakangi kesadaran perlunya komitmen kebersamaan untuk meningkatkan kerjasama di sektor ketenagakerjaan antar negara-negara OKI yang relatif masih tertinggal serta mecari solusi bersama menghadapi situasi krisis ekonomi global,kata Menakertrans Muhaimin Iskandar dalam keteranhga pers Pusat Humas Kemnakertrans di Jakarta pada Rabu ( 24/4).
Muhaimin mengatakan Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia perlu berperan dalam pertemuan ini. Muhaimin akan memaparkan dukungan Indonesia terhadap kerangka kerjasama di beberapa bidang/topik ketenagakerjaan.
“Pertemuan negara-negara anggota OKI ini membahas 5 masalah ketenagakerjaan yaitu promosi Keselamatan dan kesehatan kerja, pengurangan angka pengangguran dan pengembangan kapasitias angkatan kerja, tenaga kerja migran, informasi pasar kerja dan perlindungan sosial, “kata Muhaimin.
Dikatakan Muhaimin, Negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI, harus segera mengejar ketertinggalan di bidang ketenagakerjaan dari negara-negara maju. Kerja sama regional di bidang ketenagakerjaan dibutuhkan untuk saling membantu antar negara OKI sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan negara dan wilayah, kata Muhaimin “
Muhaimin mengatakan kebersamaan yang terjalin antar anggota OKI ini harus dimanfaatkan untuk mencari solusi dari permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan yang masih terjadi di negara-negara OKI. “Sudah saatnya kita buktikan bahwa negara-negara Islam dapat bekerja sama dengan erat sehingga bisa mengejar ketertinggalan dalam pembangunan sektor ketenagakerjaan,”kata Muhaimin.
“Situasi globalisasi ekonomi saat ini yang memerlukan kebijakan untuk mendorong keadilan sosial guna menciptakan stabilisasi pertumbuhan ekonomi dan kondisi sosial,”kata Muhaimin.
Untuk itulah, kata Muhaimin, dalam pertemuan ini para Menaker negara-negara OKI akan memaparkan program-progam kerja dan menyampaikan tawaran solusi atas berbagai permasalahan ketenagakerjaan.
“Pemerintah Indonesia akan memberikan masukan-masukan positif bagi perkembangan pembangunan sektor ketenagakerjaan dengan berbagai pengalaman-pengalaman yang telah dilakukan di Indonesia selama ini, seperti penanganan soal K3 dan pembenahan promigran , kata Muhaimin.
Pertemuan diawali dengan SOM tanggal 23-24 April 2013, guna membahas Draft Kerangka Kerjasama di bidang Ketenagakerjaan, Draft Resolusi Menteri dan Deklarasi Baku untuk diadopsi oleh para Menaker OKI.
Selanjutnya, kerangka kerjasama di atas akan berjangka-waktu 10 tahun dan akan dibentuk Steering Committee (SC) yang terdiri dari masing-masing dari 2 negara perwakilan Asia, Afrika, Arab, ditambah Sekretariat OKI, dengan ketua SC negara tuan rumah pertemuan tingkat Menaker dimaksud. SC akan bertugas melakukan koordinasi dan monitoring dalam implementasi kerangka kerjasama.
Pusat Humas Kemnakertrans
Selasa, 23 April 2013
Perusahaan minyak asing gaji 50 juta perhari
- Bukan rahasia lagi kalau gaji
para pekerja di industri minyak dan gas
bumi (migas) sangat besar, bahkan orang
yang baru lulus kuliah bisa digaji Rp 8,5
juta per bulan.
Head Development Media Relations Total
E&P Indonesia Kristanto Hartadi
mengakui soal besarnya gaji ini. Total E&P
yang merupakan perusahaan migas asal
Prancis juga menggaji besar para
pegawainya.
"Bagitupun di Total, apalagi kami punya
kebijakan memberikan kesempatan setiap
pekerja untuk bisa bekerja di seluruh
perwakilan Total E&P di seluruh dunia.
Sehingga pekerja mempunyai
pengalaman tinggi untuk bekerjasama
dengan pekerja asing lainnya," kata
Kristanto ketika dihubungi detikFinance,
Selasa (23/4/2013).
Menurut Kristanto, seluruh pekerja Total
E&P termasuk di Indonesia juga dibayar
berdasarkan standar internasional pekerja
migas.
"Kami gajinya standar internasional, itu
harus dilakukan karena kami tidak mau
juga kehilangan pekerja kami yang di luar
sana juga diburu karena ilmunya dan
tenaganya sangat dibutuhkan di industri
migas,"ungkapnya.
Diungkapkan Kristanto, seperti gaji
pekerja di bidang geologi yang mencapai
sekitar US$ 6.000 atau sekitar Rp 57 juta
per hari.
"Dibayar mahal karena semua proyek
keberhasilan pengeboran minyak ada di
tangan mereka, reservoar, di mana harus
mengebor mereka yang menentukan,
kalau mereka, salah ratusan juta dolar
melayang, bahkan pekerja yang baru
lulus di bidang ini dibayarnya US$ 600 per
hari (Rp 5 juta)," tandasnya.
Sementara untuk tenaga pengeboran
minyak atau gas, gaji yang diberikan
sekitar US$ 1.500-US$ 2.500 atau hingga
Rp 23 juta/hari.
Memang gaji pegawai perusahaan-
perusahaan migas asing belum bisa
bersaing dengan perusahaan migas
dalam negeri. Karena itu sulit mencari
pekerja sektor migas di Indonesia.
Sumber: Detik.com
para pekerja di industri minyak dan gas
bumi (migas) sangat besar, bahkan orang
yang baru lulus kuliah bisa digaji Rp 8,5
juta per bulan.
Head Development Media Relations Total
E&P Indonesia Kristanto Hartadi
mengakui soal besarnya gaji ini. Total E&P
yang merupakan perusahaan migas asal
Prancis juga menggaji besar para
pegawainya.
"Bagitupun di Total, apalagi kami punya
kebijakan memberikan kesempatan setiap
pekerja untuk bisa bekerja di seluruh
perwakilan Total E&P di seluruh dunia.
Sehingga pekerja mempunyai
pengalaman tinggi untuk bekerjasama
dengan pekerja asing lainnya," kata
Kristanto ketika dihubungi detikFinance,
Selasa (23/4/2013).
Menurut Kristanto, seluruh pekerja Total
E&P termasuk di Indonesia juga dibayar
berdasarkan standar internasional pekerja
migas.
"Kami gajinya standar internasional, itu
harus dilakukan karena kami tidak mau
juga kehilangan pekerja kami yang di luar
sana juga diburu karena ilmunya dan
tenaganya sangat dibutuhkan di industri
migas,"ungkapnya.
Diungkapkan Kristanto, seperti gaji
pekerja di bidang geologi yang mencapai
sekitar US$ 6.000 atau sekitar Rp 57 juta
per hari.
"Dibayar mahal karena semua proyek
keberhasilan pengeboran minyak ada di
tangan mereka, reservoar, di mana harus
mengebor mereka yang menentukan,
kalau mereka, salah ratusan juta dolar
melayang, bahkan pekerja yang baru
lulus di bidang ini dibayarnya US$ 600 per
hari (Rp 5 juta)," tandasnya.
Sementara untuk tenaga pengeboran
minyak atau gas, gaji yang diberikan
sekitar US$ 1.500-US$ 2.500 atau hingga
Rp 23 juta/hari.
Memang gaji pegawai perusahaan-
perusahaan migas asing belum bisa
bersaing dengan perusahaan migas
dalam negeri. Karena itu sulit mencari
pekerja sektor migas di Indonesia.
Sumber: Detik.com
Minggu, 07 April 2013
PHI tak memihak pekerja
Pengadilan Hubungan Industrial Rawan Suap. Imas Dianasari, hakim ad-hoc
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri (PN) Bandung
tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis
(30/6) malam di Rumah Makan Ponyo, Cinunuk, Kabupaten Bandung.
Hakim Imas adalah hakim ad-hoc gelombang pertama yang diangkat pada
Tahun 2006 dengan masa jabatan 5(lima) tahun setelah lulus seleksi yang
dilakukan oleh Kemenakertrans dan Mahkamah Agung. Saat itu, calon hakim
ad-hoc tidak mengetahui berapa upah atau tunjangan yang akan diterimanya.
Bahkan setelah terpilih, Tahun 2006, hakim ad-hoc hanya mendapatkan
pinjaman dan terpaksa berhutang. Tunjangan baru diterima setelah
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Desember 2006
mengeluarkan PP No 96, yang menetapkan hakim Ad-hoc PHI di tingkat
pengadilan negeri mendapat tunjangan sebesar Rp 3,75 juta, dan pada tingkat
kasasi sebesar Rp 7,5 juta dipotong Pajak 15%. Nilai terendah untuk jabatan
seorang hakim di Indonesia dan tanpa ada jaminan kesehatan. Ironis!. PHI
dibentuk sekedar kejar tayang tanpa persiapan yang matang baik dari SDM,
lokasi dan kondisi fisik PHI serta fasilitas operasional yang tidak memadai.
Ada 33 PHI yang tersebar di setiap Ibukota Propinsi. PHI Jakarta, PHI
Bandung dan PHI Surabaya tercatat menangani ratusan perkara dengan
jumlah hakim yang tidak sebanding. PHI Jakarta contohnya, setiap bulan
menerima 30 perkara baru. Sementara di tingkat MA, hanya memiliki delapan
Hakim adhoc untuk menangani 400 perkara setiap tahunnya. Menumpuknya
beban kerja menjadi salah satu pintu masuk terjadinya 'transaksi' perkara yang akan diputus. Hakim karir-pun tidak dapat fokus pada sengketa yang
ditangani. Selain keterbatasan pengetahuan di bidang ketenagakerjaan, hakim karir juga memeriksa dan mengadili perkara pidana dan perdata. Kondisi inilah yang
membuat hakim karir menyerahkan kontruksi putusan kepada hakim adhoc.
Disinilah, hakim Imas dan hakim-hakim nakal menjadi powerfull.
PHI sudah enam tahun berjalan tetapi MA atau PN belum pernah membuat job
description tertulis dan evaluasi kinerja hakim ad-hoc. Pembuatan Job
description yang jelas untuk menguraikan tugas dan/atau kode etik khusus hakim
ad-hoc akan menjadi langkah baik menuju perbaikan kualitas dan
pengawasan hakim ad-hoc. Kondisi fisik dan sarana di PHI tidak mendukung terciptanya proses persidangan yang ideal. PHI tidak menyediakan fasilitas kerja untuk hakim
seperti komputer dan printer. Akhirnya hakim ad-hoc hanya 'ngantor' pada hari
persidangan dan merancang putusan dirumah dengan membawa pulang berkas-berkas perkara. Ruang sidang tanpa fasilitas pengeras suara dan alat rekam. Akibatnya, banyak pertimbangan hukum yang berbeda dengan keterangan saksi atau putusan yang
dibacakan berbeda dengan salinan putusan.
Imas dan hakim-hakim nakal lain, biasanya 'bermain' pada perkara PHK
massal atau sengketa yang bersifat massal atau perkara individu namun dengan nilai gugatan sangat besar. Kewajiban yang diatur dalam UU No 2 Tahun 2004 Pasal 83 ayat (2) yang isinya "Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatan" tidak
dijalankan. Proses persidangan dibiarkan terus berjalan dan selanjutnya dalam putusan
akhir dinyatakan gugatan tidak dapat diterima atau ditolak. Tidak aneh jika
ratusan buruh Great River mengamuk dan mengejar majelis hakim yang terpaksa menyelamatkan diri melalui plafon gedung pada sengketa di PHI Jakarta, Maret 2007. Bahkan kerap terjadi, hakim nakal mencari-cari kelemahan yang ada dalam surat kuasa,
gugatan atau alat bukti. Walaupun pihak lawan tidak mengajukan eksepsi.
Di persidangan, keberpihakan majelis hakim akan terlihat dengan telanjang.
Hakim karir nakal sebagai ketua majelis atau hakim adhoc selalu memotong
pertanyaan dari pihak pekerja kepada saksi yang keterangannya akan merugikan pihak pengusaha/pemberi kerja. Tindakan lain adalah mengusir atau menegur saksi ahli yang
keterangannya menguntungkan pekerja sebagaimana perkara PHK Indosiar
nomor 114/PHI.G/2010/PN.JKT.PST di PHI Jakarta Pusat dan PHK Hotel
Papandayan nomor 38/G/2010/ PHI.PN.BDG di PHI Bandung. Bahkan hakim ketua tak segan-segan mengebrak meja di PHI Jakarta pada Maret 2011 untuk membuat shock kuasa hukum pihak pekerja. Indikasi kenakalan lainnya dapat dilihat dari nilai gugatan yang diputus. Jika pada tingkat bipartite atau mediasi, pihak pengusaha atau pemberi kerja sudah setuju memberikan kompensasi sebanyak 2 (dua) kali ketentuan UU Ketenagakerjaan (2 PMTK) kepada pihak pekerja namun setelah masuk ke PHI, kompensasinya dikurangi menjadi 1 PMTK saja. Faktor pengurang inilah yang menjadi 'jatah' untuk hakim tersebut. Kondisi inilah yang memaksa pekerja atau serikat pekerja melakukan aksi unjuk rasa pada setiap persidangan di PHI sebagai alat penekan agar majelis hakim tidak mempermainkan nasibnya,
Mengingat buruh tidak memiliki kemampuan melakukan penyuapan.
Sejak PHI bergulir,belum ada perkara PHK massal yang menghukum pengusaha/pemberi kerja dengan mempekerjakan kembali para pekerja walau perusahaan tidak tutup. Putusan
bekerja kembali di tingkat PHI akan dipatahkan pada tingkat kasasi.
PT Onamba Indonesia menyuap hakim Imas dengan maksud agar MA mengukuhkan putusan PHI Bandung yang dibuat olehnya. PT Onamba Indonesia dan perusahaan lain sangat
berkepentingan agar PHK dikabulkan. Sebagian hakim berpendapat ada kepentingan yang lebih besar untuk kelangsungan usaha perusahaan dan
negara. Nasib buruh selalu dinomorduakan walaupun buruh yang bersangkutan tidak melakukan kesalahan apapun. PHK massal biasanya terjadi pada sektor manufaktur atau jasa dengan upah rendah seperti hotel dan restoran yang setara dengan upah minimum. Secara individu, pesangon yang diterima pekerja dengan masa kerja 20 tahun memang
kecil yaitu kisaran Rp 25 juta sampai 35 juta rupiah dengan perhitungan 2 PMTK
atau senilai Rp 15juta-25juta untuk 1 PMTK. Namun jumlahnya akan sangat
besar jika PHK secara massal.
Uang suap senilai Rp 200 juta yang diterima oleh Hakim Imas hanya uang
muka untuk 'operasional' perkara di tingkat kasasi. Akan ada succes fee
dengan jumlah yang lebih besar setelah Imas dan hakim kasasi melakukan
tugasnya dengan sempurna. Hakim Imas mungkin berfikir, inilah cara dirinya
'menabung' atas suramnya masa depan. Tidak ada pesangon atau pensiun
setelah masa jabatannya berakhir atau di-recall oleh Apindo sebagai lembaga
yang mengusungnya. Sama seperti hakim adhoc dari unsur serikat pekerja.
Hakim Imas Dianasari adalah potret hakim adhoc PHI yang bekerja pada
system dan fasilitas yang carut-marut. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan.
Perbaikan remunerasi, pembuatan job description tertulis, evaluasi dan
pengawasan hakim ad-hoc agar disegerakan. Kini saatnya, PHI berbenah agar kembali pada amanat pembentukannya yaitu menjamin penyelesaian hubungan industrial yang
cepat, tepat, adil dan murah. Bukan menjadi KUBURAN keadilan bagi buruh!
Sementara itu menengok berita yang dilansir Warta Jatim pada Selasa, 05 Januari 2010. Apa yang terjadi di PHI surabaya kondisinya tak kalah memilukan bagi buruh.
- Sepanjang tahun 2009 Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya mengabulkan 274 perkara pemutusan hubungan kerja. Keputusan itu merugikan buruh dan bukti negara gagal menjamin hak masyarakat atas pekerjaan.
Koordinator Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Jawa Timur Jamaluddin mengatakan, akibat keputusan itu sekitar 30.000 buruh kehilangan pekerjaan. Rata-rata mereka berstatus buruh kontrak, pekerja lepas, harian, dan outsourcing. Ironisnya, mereka dipecat karena menuntut status, hak upah, dan berserikat.
“Apa yang dilakukan PHI adalah cerminan buruknya potret perlindungan buruh di Jawa Timur. PHI juga digunakan alat oleh pengusaha untuk merampas hak buruh dan upah buruh,” kata Jamaluddin, Selasa (5/1).
Selain putusan PHK, ABM juga mencatat 200 perusahaan di Jatim melanggar upah minimum kota/kabupaten. Akibatnya 175.000 buruh menerima upah di bawah standar. UMK tahun 2010 di Jatim yang disahkan Gubernur Soekarwo, juga lebih memihak pengusaha, karena hanya naik 7,63 persen dari UMK 2009. Itu pun masih ada 12 perusahaan yang menangguhkan pembayaran.
“Pada intinya, persoalan buruh tidak akan pernah selesai, selama tidak ada ketegasan dan kemauan dari pemerintah untuk membela hak-hak dan kepentingan buruh,” kata Jamaluddin.(red)
:buruhbekasibergerak.blogspot.com
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri (PN) Bandung
tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis
(30/6) malam di Rumah Makan Ponyo, Cinunuk, Kabupaten Bandung.
Hakim Imas adalah hakim ad-hoc gelombang pertama yang diangkat pada
Tahun 2006 dengan masa jabatan 5(lima) tahun setelah lulus seleksi yang
dilakukan oleh Kemenakertrans dan Mahkamah Agung. Saat itu, calon hakim
ad-hoc tidak mengetahui berapa upah atau tunjangan yang akan diterimanya.
Bahkan setelah terpilih, Tahun 2006, hakim ad-hoc hanya mendapatkan
pinjaman dan terpaksa berhutang. Tunjangan baru diterima setelah
Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Desember 2006
mengeluarkan PP No 96, yang menetapkan hakim Ad-hoc PHI di tingkat
pengadilan negeri mendapat tunjangan sebesar Rp 3,75 juta, dan pada tingkat
kasasi sebesar Rp 7,5 juta dipotong Pajak 15%. Nilai terendah untuk jabatan
seorang hakim di Indonesia dan tanpa ada jaminan kesehatan. Ironis!. PHI
dibentuk sekedar kejar tayang tanpa persiapan yang matang baik dari SDM,
lokasi dan kondisi fisik PHI serta fasilitas operasional yang tidak memadai.
Ada 33 PHI yang tersebar di setiap Ibukota Propinsi. PHI Jakarta, PHI
Bandung dan PHI Surabaya tercatat menangani ratusan perkara dengan
jumlah hakim yang tidak sebanding. PHI Jakarta contohnya, setiap bulan
menerima 30 perkara baru. Sementara di tingkat MA, hanya memiliki delapan
Hakim adhoc untuk menangani 400 perkara setiap tahunnya. Menumpuknya
beban kerja menjadi salah satu pintu masuk terjadinya 'transaksi' perkara yang akan diputus. Hakim karir-pun tidak dapat fokus pada sengketa yang
ditangani. Selain keterbatasan pengetahuan di bidang ketenagakerjaan, hakim karir juga memeriksa dan mengadili perkara pidana dan perdata. Kondisi inilah yang
membuat hakim karir menyerahkan kontruksi putusan kepada hakim adhoc.
Disinilah, hakim Imas dan hakim-hakim nakal menjadi powerfull.
PHI sudah enam tahun berjalan tetapi MA atau PN belum pernah membuat job
description tertulis dan evaluasi kinerja hakim ad-hoc. Pembuatan Job
description yang jelas untuk menguraikan tugas dan/atau kode etik khusus hakim
ad-hoc akan menjadi langkah baik menuju perbaikan kualitas dan
pengawasan hakim ad-hoc. Kondisi fisik dan sarana di PHI tidak mendukung terciptanya proses persidangan yang ideal. PHI tidak menyediakan fasilitas kerja untuk hakim
seperti komputer dan printer. Akhirnya hakim ad-hoc hanya 'ngantor' pada hari
persidangan dan merancang putusan dirumah dengan membawa pulang berkas-berkas perkara. Ruang sidang tanpa fasilitas pengeras suara dan alat rekam. Akibatnya, banyak pertimbangan hukum yang berbeda dengan keterangan saksi atau putusan yang
dibacakan berbeda dengan salinan putusan.
Imas dan hakim-hakim nakal lain, biasanya 'bermain' pada perkara PHK
massal atau sengketa yang bersifat massal atau perkara individu namun dengan nilai gugatan sangat besar. Kewajiban yang diatur dalam UU No 2 Tahun 2004 Pasal 83 ayat (2) yang isinya "Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatan" tidak
dijalankan. Proses persidangan dibiarkan terus berjalan dan selanjutnya dalam putusan
akhir dinyatakan gugatan tidak dapat diterima atau ditolak. Tidak aneh jika
ratusan buruh Great River mengamuk dan mengejar majelis hakim yang terpaksa menyelamatkan diri melalui plafon gedung pada sengketa di PHI Jakarta, Maret 2007. Bahkan kerap terjadi, hakim nakal mencari-cari kelemahan yang ada dalam surat kuasa,
gugatan atau alat bukti. Walaupun pihak lawan tidak mengajukan eksepsi.
Di persidangan, keberpihakan majelis hakim akan terlihat dengan telanjang.
Hakim karir nakal sebagai ketua majelis atau hakim adhoc selalu memotong
pertanyaan dari pihak pekerja kepada saksi yang keterangannya akan merugikan pihak pengusaha/pemberi kerja. Tindakan lain adalah mengusir atau menegur saksi ahli yang
keterangannya menguntungkan pekerja sebagaimana perkara PHK Indosiar
nomor 114/PHI.G/2010/PN.JKT.PST di PHI Jakarta Pusat dan PHK Hotel
Papandayan nomor 38/G/2010/ PHI.PN.BDG di PHI Bandung. Bahkan hakim ketua tak segan-segan mengebrak meja di PHI Jakarta pada Maret 2011 untuk membuat shock kuasa hukum pihak pekerja. Indikasi kenakalan lainnya dapat dilihat dari nilai gugatan yang diputus. Jika pada tingkat bipartite atau mediasi, pihak pengusaha atau pemberi kerja sudah setuju memberikan kompensasi sebanyak 2 (dua) kali ketentuan UU Ketenagakerjaan (2 PMTK) kepada pihak pekerja namun setelah masuk ke PHI, kompensasinya dikurangi menjadi 1 PMTK saja. Faktor pengurang inilah yang menjadi 'jatah' untuk hakim tersebut. Kondisi inilah yang memaksa pekerja atau serikat pekerja melakukan aksi unjuk rasa pada setiap persidangan di PHI sebagai alat penekan agar majelis hakim tidak mempermainkan nasibnya,
Mengingat buruh tidak memiliki kemampuan melakukan penyuapan.
Sejak PHI bergulir,belum ada perkara PHK massal yang menghukum pengusaha/pemberi kerja dengan mempekerjakan kembali para pekerja walau perusahaan tidak tutup. Putusan
bekerja kembali di tingkat PHI akan dipatahkan pada tingkat kasasi.
PT Onamba Indonesia menyuap hakim Imas dengan maksud agar MA mengukuhkan putusan PHI Bandung yang dibuat olehnya. PT Onamba Indonesia dan perusahaan lain sangat
berkepentingan agar PHK dikabulkan. Sebagian hakim berpendapat ada kepentingan yang lebih besar untuk kelangsungan usaha perusahaan dan
negara. Nasib buruh selalu dinomorduakan walaupun buruh yang bersangkutan tidak melakukan kesalahan apapun. PHK massal biasanya terjadi pada sektor manufaktur atau jasa dengan upah rendah seperti hotel dan restoran yang setara dengan upah minimum. Secara individu, pesangon yang diterima pekerja dengan masa kerja 20 tahun memang
kecil yaitu kisaran Rp 25 juta sampai 35 juta rupiah dengan perhitungan 2 PMTK
atau senilai Rp 15juta-25juta untuk 1 PMTK. Namun jumlahnya akan sangat
besar jika PHK secara massal.
Uang suap senilai Rp 200 juta yang diterima oleh Hakim Imas hanya uang
muka untuk 'operasional' perkara di tingkat kasasi. Akan ada succes fee
dengan jumlah yang lebih besar setelah Imas dan hakim kasasi melakukan
tugasnya dengan sempurna. Hakim Imas mungkin berfikir, inilah cara dirinya
'menabung' atas suramnya masa depan. Tidak ada pesangon atau pensiun
setelah masa jabatannya berakhir atau di-recall oleh Apindo sebagai lembaga
yang mengusungnya. Sama seperti hakim adhoc dari unsur serikat pekerja.
Hakim Imas Dianasari adalah potret hakim adhoc PHI yang bekerja pada
system dan fasilitas yang carut-marut. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan.
Perbaikan remunerasi, pembuatan job description tertulis, evaluasi dan
pengawasan hakim ad-hoc agar disegerakan. Kini saatnya, PHI berbenah agar kembali pada amanat pembentukannya yaitu menjamin penyelesaian hubungan industrial yang
cepat, tepat, adil dan murah. Bukan menjadi KUBURAN keadilan bagi buruh!
Sementara itu menengok berita yang dilansir Warta Jatim pada Selasa, 05 Januari 2010. Apa yang terjadi di PHI surabaya kondisinya tak kalah memilukan bagi buruh.
- Sepanjang tahun 2009 Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya mengabulkan 274 perkara pemutusan hubungan kerja. Keputusan itu merugikan buruh dan bukti negara gagal menjamin hak masyarakat atas pekerjaan.
Koordinator Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Jawa Timur Jamaluddin mengatakan, akibat keputusan itu sekitar 30.000 buruh kehilangan pekerjaan. Rata-rata mereka berstatus buruh kontrak, pekerja lepas, harian, dan outsourcing. Ironisnya, mereka dipecat karena menuntut status, hak upah, dan berserikat.
“Apa yang dilakukan PHI adalah cerminan buruknya potret perlindungan buruh di Jawa Timur. PHI juga digunakan alat oleh pengusaha untuk merampas hak buruh dan upah buruh,” kata Jamaluddin, Selasa (5/1).
Selain putusan PHK, ABM juga mencatat 200 perusahaan di Jatim melanggar upah minimum kota/kabupaten. Akibatnya 175.000 buruh menerima upah di bawah standar. UMK tahun 2010 di Jatim yang disahkan Gubernur Soekarwo, juga lebih memihak pengusaha, karena hanya naik 7,63 persen dari UMK 2009. Itu pun masih ada 12 perusahaan yang menangguhkan pembayaran.
“Pada intinya, persoalan buruh tidak akan pernah selesai, selama tidak ada ketegasan dan kemauan dari pemerintah untuk membela hak-hak dan kepentingan buruh,” kata Jamaluddin.(red)
:buruhbekasibergerak.blogspot.com
Senin, 01 April 2013
Perda Outsourcing Jatim
01 April 2013, 13:08:57| Laporan Fatkhurohman Taufik
Jatim Perjelas Status Outsourcing
suarasurabaya.net| Pemerintah Jawa Timur lakukan finalisasi rancangan peraturan daerah (raperda) tentang sistem kerja outsourcing. Dalam raperda baru mengenai outsourcing ini, Jawa Timur akan mempertegas status dan pekerjaan apa saja yang bisa dialih dayakan atau dioutsourcingkan.
Saifullah Yusuf (Gus Ipul) Wakil Gubernur Jawa Timur mengatakan, perda yang mengatur outsourcing ini akan berpedoman pada Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan serta hasil dari judicial review atas undang-undang itu.
"Intinya, outsourcing akan kami pertegas sehingga tidak ada lagi buruh yang diperlakukan tidak adil," kata Gus Ipul, usai menghadiri sidang paripurna pembahasan masalah ini di DPRD Jawa Timur, Senin (1/4/2013).
Sekadar diketahui, hasil dari judicial review atas undang-undang ketenagakerjaan memang memperjelas batasan dari outsourcing dimana hanya lima usaha saja yang bisa yaitu, pelayan kebersihan atau cleaning service, penyedia makanan atau catering, tenaga pengamanan security, usaha jasa penunjang, serta penyediaan angkutan atau sopir.
Dalam raperda kali ini, pemerintah Jawa Timur juga akan mempertegas persyaratan perusahaan penyedia outsourcing haruslah berbadan hukum, memiliki tanda daftar perusahaan, memiliki izin usaha, memiliki buku wajib lapor ketenagakerjaan, memiliki izin operasional, memiliki kantor tetap, serta NPWP atas nama perusahaan itu.
Ditempat yang sama, Hary Soegiri, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Transmigrasi dan Kependudukan Jawa Timur, mengatakan di Jawa Timur saat ini terdapat 992 perusahaan outsourcing. "Raperda ini nantinya untuk memberikan batasan yang jelas bagi mereka," kata Hary.
Dalam perda ini, juga akan dibentuk penyidik PNS. Tujuannya, untuk memantau dan mengawasi perusahaan bermasalah. (fik/edy)
Teks Foto :
- Saifullah Yusuf membacakan nota penjelasan terkait raperda outsourcing di paripurna DPRD Jawa Timur, Senin (1/47/2013).
Foto : Taufik suarasurabaya.net
Jatim Perjelas Status Outsourcing
suarasurabaya.net| Pemerintah Jawa Timur lakukan finalisasi rancangan peraturan daerah (raperda) tentang sistem kerja outsourcing. Dalam raperda baru mengenai outsourcing ini, Jawa Timur akan mempertegas status dan pekerjaan apa saja yang bisa dialih dayakan atau dioutsourcingkan.
Saifullah Yusuf (Gus Ipul) Wakil Gubernur Jawa Timur mengatakan, perda yang mengatur outsourcing ini akan berpedoman pada Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan serta hasil dari judicial review atas undang-undang itu.
"Intinya, outsourcing akan kami pertegas sehingga tidak ada lagi buruh yang diperlakukan tidak adil," kata Gus Ipul, usai menghadiri sidang paripurna pembahasan masalah ini di DPRD Jawa Timur, Senin (1/4/2013).
Sekadar diketahui, hasil dari judicial review atas undang-undang ketenagakerjaan memang memperjelas batasan dari outsourcing dimana hanya lima usaha saja yang bisa yaitu, pelayan kebersihan atau cleaning service, penyedia makanan atau catering, tenaga pengamanan security, usaha jasa penunjang, serta penyediaan angkutan atau sopir.
Dalam raperda kali ini, pemerintah Jawa Timur juga akan mempertegas persyaratan perusahaan penyedia outsourcing haruslah berbadan hukum, memiliki tanda daftar perusahaan, memiliki izin usaha, memiliki buku wajib lapor ketenagakerjaan, memiliki izin operasional, memiliki kantor tetap, serta NPWP atas nama perusahaan itu.
Ditempat yang sama, Hary Soegiri, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Transmigrasi dan Kependudukan Jawa Timur, mengatakan di Jawa Timur saat ini terdapat 992 perusahaan outsourcing. "Raperda ini nantinya untuk memberikan batasan yang jelas bagi mereka," kata Hary.
Dalam perda ini, juga akan dibentuk penyidik PNS. Tujuannya, untuk memantau dan mengawasi perusahaan bermasalah. (fik/edy)
Teks Foto :
- Saifullah Yusuf membacakan nota penjelasan terkait raperda outsourcing di paripurna DPRD Jawa Timur, Senin (1/47/2013).
Foto : Taufik suarasurabaya.net
Langganan:
Postingan (Atom)