Kamis, 14 Mei 2015

Harapan Upah Layak Bagi Pekerja yang Berkeluarga

Pemerintahan SBY menyisakan sejumlah pekerjaan rumah bagi
Jokowi-Jusuf Kalla. Salah satunya merampungkan penyusunan
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengupahan. RPP ini adalah
amanat UU Ketenagakerjaan.Sebagai leading sector ,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi – kini hanya
Kemenaker—diketahui sedang menyusun RPP tersebut bersama
instansi terkait.


 Namun hingga kini RPP dimaksud belum diterbitkan. Kalangan pekerja
berharap RPP ini dibahas bersama, tetapi ada juga yang menolak
disahkan jika tak memgakomodasi tuntutan pekerja.
Presidium Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI), Indra Munaswar,
berpendapat RPP Pengupahan seharusnya memuat kebutuhan
hidup layak (KHL) untuk pekerja yang sudah berkeluarga. Ia
melihat selama ini upah minimum lebih diperuntukkan bagi pekerja
lajang dengan pengalaman kerja kurang dari setahun.
     Akibatnya, sistem pengupahan pekerja yang masa kerjanya lebih
dari setahun dan telah berkeluarga tidak diatur. Sehingga upahnya
terkejar pekerja lajang. "RPP Pengupahan itu harus memuat
kebutuhan hidup layak bukan saja kepada pekerja lajang tapi juga
pekerja yang sudah berkeluarga,"katanya dalam diskusi di Jakarta,
Senin (27/10).
Indra menilai komponen KHL sebagaimana diatur dalam
Permenakertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak belum
mendefenisikan kebutuhan hidup layak pekerja dengan baik. Sebab,
kebutuhan hidup layak hanya dilihat sekedar pemenuhan
standar kebutuhan pekerja lajang untuk dapat hidup layak secara
fisik dalam satu bulan.
Indra mengusulkan agar RPP Pengupahan juga memperhatikan
perhitungan daya beli atau nilai riil upah. Selama ini, perhitungan
tersebut luput dari perhatian sehingga upah minimum pekerja
semakin tinggi tapi nilai riil atau daya beli pekerja menurun.
"Selama ini Pemerintah dan Dewan Pengupahan selalu ribut soal
besaran nominal upah, bukan pada nilai riilnya," ujarnya.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar,
amanat Pasal 97 UU Ketenagakerjaan belum dijalankan.
Sehingga, selama ini PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
Upah selalu dipakai sebagai acuan. Sementara dari segi judul, Timboel
menyayangkan RPP Pengupahan menghilangkan kata
"Perlindungan" sebagaimana PP Perlindungan Upah itu.
Sebagian besar ketentuan yang diatur dalam RPP Pengupahan
menurut Timboel membahas soal upah minimum. Upah minimum
seyogianya berlandaskan aspek kemanusiaan sehingga tidak dapat
dikaitkan eksplisit dengan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi. Timboel berharap upah minimum jangan diberikan kepada
mekanisme pasar. Landasannya harus kemanusiaan dengan
mengacu konstitusi.

Timboel juga menolak pasal 34 RPP Pengupahan yang mengatur
kenaikan upah minimum dilakukan dua tahun sekali.
Pasalnya, pemerintah belum mampu menjamin stabilitas
ekonomi. Sehingga, dalam waktu kurang dari setahun harga-harga
kebutuhan pokok fluktuatif.Ditambah lagi faktor eksternal
seperti nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. "Kalau kenaikan
upah minimum dua tahun sekali itu berarti penderitaan pekerja
semakin panjang," paparnya.
Sanksi pidana dalam RPP Pengupahan menurut Timboel
tidak eksplisit. Padahal itu ada dalam UU Ketenagakerjaan. Atas
dasar itu Timboel berharap agar RPP Pengupahan tidak hanya
memuat sanksi berupa denda tapi juga pidana.
Dikatakan Timboel, RPP Pengupahan perlu mengatur
mekanisme upah sundulan.Sehingga, pengusaha memberi
upah diatas upah minimum kepada pekerja dengan masa kerja
lebih dari satu tahun. Survei penentuan upah minimum
menurut Timboel juga harus jelas diatur RPP Pengupahan.
Sehingga, pasar yang disurvei itu adalah pasar yang lokasinya dekat
dengan kawasan industri.
Anggota Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dari unsur
pekerja, Subianto, mengatakan UU Ketenagakerjaan secara tegas
mengamanatkan kebutuhan hidup yang layak harus diterima pekerja.
Namun, dalam Permenakertrans KHL itu direduksi sehingga yang
diatur hanya pencapaian KHL.
Akibatnya, dialog tripartit yang terbangun tidak dilandasi
kejujuran dan keadilan.
"Pemerintah berselingkuh dengan pengusaha dan menindas pekerja,"
tukasnya.
Kemudian, Sekjen KSPSI itu mengusulkan agar Dewan
Pengupahan hanya ada di tingkat nasional. Sebab, pekerja di daerah
tidak semuanya terorganisasi dengan baik. Sehingga, kurang
berperan signifikan dalam Dewan Pengupahan. Akibatnya, upah
minimum yang dihasilkan antar daerah tak jarang mengalami
ketimpangan signifikan.
Menurutnya, dengan Dewan Pengupahan yang terpusat,
ketimpangan upah minimum antar daerah itu dapat dikoreksi.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Daniel Yusmik, menilai
selama ini UU Ketenagakerjaan tidak efektif karena PP
Pengupahan belum ada. Itu pertanda selama ini pemerintah
tidak fokus untuk memanusiakan pekerja. Hal itu terlihat jelas
dalam RPP Pengupahan.
 "Jika dihitung sejak 2003 berarti sudah 11 tahun UU Ketenagakerjaan
tidak efektif," tuturnya.
Yusmik melihat posisi pekerja dan pengusaha tidak setara. Posisi
pekerja jauh lebih lemah ketimbang pengusaha atau pemberi kerja. Posisi pekerja baru
setara jika tergabung dalam Serikat Pekerja. Itu pun hanya
setara saat melakukan negosiasi
dengan pengusaha, seperti membentuk Perjanjian KerjaBersama (PKB).
Selain itu Yusmik menyorot pasal 35 RPP Pengupahan yang mengatur
tentang penetapan upah minimum. Menurutnya, pasal itu harus
menegaskan penetapan upah minimum provinsi oleh Gubernur.
Tidak perlu ada penambahan frasa
"dan/atau upah minimum kabupaten/kota."


sumber : hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar