Selasa, 18 Agustus 2015

Refleksi Hari Kemerdekaan

Mendongkrak Daya Beli Buruh,
Menekan Kesenjangan Sosial

Oleh MOH JUMHUR HIDAYAT
(WAKIL KETUA UMUM KSPSI
BIDANG PENGEMBANGAN
KESEJAHTERAAN PEKERJA)

Perubahan politik, termasuk yang  paling ekstrem, seringkali
diakibatkan adanya kesenjangan sosial ekonomi. Alat ukur
kesenjangan atau ketimpangaan adalah Rasio Gini atau Indeks Gini
yang 'lampu merahnya' berada di angka 0,4. Kalau lebih dari angka
itu, maka bahaya ketidakstabilan politik mengancam suatu negara.
Saat ini Indeks Gini Indonesia adalah 0.413. Ini mengindikasikan
berpotensi mengundang gejolak sosial. Oleh sebab itu harus
dilakukan langkah-langkah khusus guna mempersempit kesenjangan.
Apapun yang dilakukan untuk menekan ketimpangan haruslah
dalam kerangka membangun  ekonomi domestik yang lebih
fundamental.


Ini berarti dibutuhkan kerja keras dan keinginan meningkatkan daya
beli sebagian besar rakyat yang dalam hal ini adalah buruh dan
petani-nelayan. Sebab, harus menjadi perhatian dan diingat
seluruh komponen bangsa bahwa sebagian besar hasil tani-nelayan
akan dikonsumsi oleh buruh.
Oleh sebab itu, pilihan tidak salah bila daya beli buruh ditingkatkan
dengan memperbesar upah atau mengurangi pengeluaran buruh
yang tidak berhubugan dengan konsumsi yaitu untuk pendidikan,
kesehatan, perumahan dan transportasi. Tujuannya agar dana
atau pendapatan yang tersisa bisa untuk belanja konsumsi lainnya
termasuk konsumsi produk pangan dan manufaktur.
Jika buruh memiliki daya beli yang cukup, maka produk pertanian yang
dihasilkan petani-nelayan juga dibeli dengan harga memadai.
Sehingga petani dan nelayan akan menerima pendapatan cukup yang
pada gilirannya juga bisa membeli produk-produk manufaktur yang
diproduksi buruh.

[2:18am, 8/19/2015] jafar shodiq
 Siklus inilah yang akan membawa dua sektor strategis yaitu buruh
dan petani-nelayan akan meningkat daya belinya. Bila ini terjadi, maka
kesenjangan dan ketimpangan sosial yang besar secara bertahap akan
berkurang atau Rasio Gini menurun angkanya. Ini akan menghindarkan
negara dari gejolak sosial politik yang mengerikan di kemudian hari.
Langkah perjuangan buruh menaikkan upah dan
kesejahteraannya, janganlah dilihat hanya untuk kepentingan buruh
semata. Tetapi harus dilihat dari kacamata makro. Dari sinilah
terlihat bahwa meningkatkan kesejahteraan sektor-sektor
terpinggirkan selama ini yaitu sektor tani-nelayan justru
menyelamatkan bangsa.
Tantanganya adalah bagaimana agar upah bisa memadai? Untuk itu
diperlukan gerakan memangkas inefisiensi secara terstruktur,
sistematik, dan massif.
Di antaranya memangkas biaya logistik akibat jeleknya infrastruktur dari
26% menjadi sekitar 15% PDB dengan perbaikan akses jalan dan
pelabuhan termasuk pengembangan transportasi melalui laut.
Tidak kalah penting adalah memangkas biaya-biaya tidak
produktif lainnya yang dikeluarkan pengusaha. Seperti bunga bank
yang mencekik, suap dan korupsi serta gaya hidup mewah yang
berlebihan para pengusaha yang menggunakan barang-barang
impor. Sebaliknya perlu digelorakan menggunakan dan mengonsumsi
produksi dalam negeri.
 Sesungguhnya, bila ajaran Trisakti Bung Karno dilaksanakan
khususnya berdikari atau mandiri dalam bidang ekonomi serta
berkepribadian dalam budaya sehingga tidak latah harus
menggunakan produk asing sebaliknya mendorong produk lokal
yang berciri budaya bangsa, maka kesenjangan sosial ini bisa segera
diatasi.
Kita berharap lokomotif perubahan yaitu pemerintah dengan jajaran
kabinetnya mengerti, memahami dan berkomitmen tinggi
menjalankan ajaran Trisakti Bung Karno. Hal ini berarti pemerintah
dituntut berkomitmen menjalankan semangat Proklamasi dan nilai-nilai
Pancasila. Semoga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar