Hubungan kerja pada awalnya merupakan hubungan hukum
dalam hukum privat,karena hanya menyangkut hubungan hukum
antar perorangan,yaitu antara pengusaha dengan pekerja. Namun,
dalam perkembangannya ternyata hubungan hukum tersebut
membutuhkan campur tangan pemerintah.
Hal ini disebabkan karena tujuan hukum ketenagakerjaan
ternyata sesuai/sejalan dengan tujuan negara dan
menyangkut kepentingan khalayak banyak.
Untuk itu,pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada
buruh/pekerja dan pengusaha baik dari segi regulasi atau
pelaksanaan teknis hubungan tenaga kerja di lapangan.
Namun, dalam hubungan industrial ini, dalam perkembangannya
selama ini seperti terdapat hukum alam hubungan buruh-
pengusaha yang kerap menimbulkan konflik berkepanjangan dan
menjadi polemik tanah air.
Seperti kasus-kasus PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang
terjadi kerap membuat kita miris,karena PHK sepihak
masih mendominasi permasalahan utama dalam ketenagakerjaan
Indonesia.
PHK dengan alasan efisiensi seperti pemberian hak-hak
pekerja/buruh sebagai kompensasi merupakan Pemutusan Hubungan
Kerja yang kerap menimbulkan masalah.
Permasalahannya adalah perusahaan sering memberikan
hak-hak pekerja/buruh yang kurang sesuai dan tidak
jarang juga pihak pekerja/buruh meminta hak-hak mereka melebihi
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Perusahaan seharusnya tak boleh lagi melakukan PHK
terhadap pegawainya.
Terlebih, bila PHK itu hanya berdalih embel-embel demi
efisiensi perusahaan.Hal ini sesuai dengan penilaian dari mantan
hakim Mahkamah Konstitusi yang menilai bahwa pemutusan hubungan
kerja dengan dalih reorganisasi dan efisiensi merupakan
perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-IX/2011 yang
membatalkan bunyi Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan,
karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28D ayat (2) yang berbunyi "Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja ".
Kasus PHK dengan alasan efisiensi sangat banyak terjadi
di Indonesia. Banyak pihak pengusaha maupun pekerja/
buruh yang salah mengartikan PHK dengan alasan efisiensi.
Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara pasal 164 ayat (3) UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
mengatur seputar
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam putusannya, MK
menyatakan bahwa PHK hanya sah dilakukan setelah perusahaan tutup
secara permanen dan sebelumnya perusahaan melakukan sejumlah
langkah terlebih dahulu dalam rangka efisiensi.
Dalam pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tersebut menyatakan,
"Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena
mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan
karena keadaan memaksa ( Force Majeur ), tetapi perusahaan
melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak
atas pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (4)."
Perusahaan harus memberi tahu karyawan sebelum PHK dilakukan dan
alasan PHK.
Pada perusahaan tertentu,pemberitahuan ini dilakukan 30 hari
sebelum PHK.Setelah memberitahukan kepada karyawan,
perusahaan harus mendapatkan izin dari instansi Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industral sebelum melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk
melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan
upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut.
Berdasarkan hal itu, perusahaan tidak dapat melakukan PHK
sebelum menempuh beberapa upaya.
Upaya-upaya tersebut telah pula ditentukanoleh MK, yakni:
a. mengurangi upah dan fasilitas pekerja
tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan
direktur;
b. mengurangi shift;
c. membatasi/ menghapuskan kerja lembur;
d. mengurangi jam kerja;
e. mengurangi hari kerja;
f. meliburkan atau merumahkan pekerja/
buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
g. tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja
yang sudah habis masa kontraknya
h. memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi
syarat.
MK menyatakan, perusahaan hanya bisa memilih jalan
PHK bila perusahaan tersebut tutup permanen. Dengan
kata lain, perusahaan yang hanya tutup sementara tidak
boleh memecat pegawainya. Hal ini pernah disampaikan
Mantan Ketua MK,Mahfud MD, bahwa alasan efisiensi saja
tidak dapat dijadikan alasan PHK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar