Rilis OPSI
Menteri Ketenagakerjaan telah menandatangani Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 21 tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak. Permenaker no. 21 ini merevisi habis Permenakertrans no. 13 tahun 2012 ttg Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL. Hanya Pasal 2 dan lampirannya ttg komponen KHL saja di Kemenakertrans no. 13/2012 yang tidak direvisi. Permenaker no. 21 tahun 2016 ini ditandatangani tanggal 27 Juni 2016 lalu. Permenaker ini merupakan amanat Pasal 89 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Setelah membaca seluruh isi Permenaker no. 21/2016 ada beberapa hal yg perlu diktritisi yaitu :
1. Judul Permenaker no. 21/2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak sebenarnya sudah bertentangan dgn amanat Pasal 89 ayat 4 UU No. 13/2003 yg menyatakan Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Seharusnya judul Permenaker no. 21/2016 ini adalah tetap tentang Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak, BUKAN hanya ttg Kebutuhan Hidup Layak saja.
Selain itu setelah membaca seluruh isi Permenaker no. 21/2016 ini saya tidak menemukan ketentuan yg mengatur ttg Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Hal ini tetap perlu diatur sebenarnya mengingat masih ada beberapa provinsi yg belum mencapai 100 persen KHL.
2. Sebenarnya substansi KHL selama periode 4 tahun di awal sudah kehilangan makna dalam menentukan nilai upah minimum. KHL hanya berperan pada tahun kelima setelah adanya perubahan jumlah komponen KHL dan kualitas KHL itu sendiri. Di 4 tahun tsb penetapan upah minimum tidak dipengaruhi oleh nilai KHL tetapi hanya ditentukan oleh inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karenanya isi Bab II yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 sebenarnya tidak terlalu bermakna dalam penentuan upah minimun di 4 tahun tsb.
Ini sangat berbeda dengan Permenkertrans no. 13/2012 khususnya Pasal 6 yang mengatur Nilai KHL dalam menentukan Upah Minimum.
3. Bila membandingkan keakuratan perhitungan KHL di Permenakertrans no. 13/2012 dan Permenaker no. 21/2016, menurut saya perhitungan di Permenakertrans no. 13/2012 lebih akurat karena survey langsung ditujukan pada 60 item KHL sementara Permenaker no. 21/2016 menggunakan inflasi nasional yaitu perhitungan dari seluruh item barang dan jasa dari yang sifatnya tersier, sekunder dan primer. Lagi pula ini kan menjadi tidak obyektif juga mengingat inflasi di seluruh wilayah Indonesia berbeda beda.
4. Pada Permenakertrans no. 13/2012, PDRB turut mempengaruhi penentuan upah minimum tetapi di Permenaker no.21/2016 tidak sama sekali diperhitungkan karena hanya memakai PDB nasional. Ini juga yang membuat penentuan upah minimum jadi bias.
5. Peran Dewan Pengupahan Daerah Propinsi diakomidir di Pasal 6 ayat 3 Permenaker 13/2012 yaitu memberikan rekomendasi kepada Gubernur TETAPI di Permenaker no. 21/2016 tidak terakomodir. Ini sudah bertentangan dgn Pasal 89 ayat 3 UU No. 13/2003 yang menyatakan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
6. Pada Pasal 5 Permenaker no. 21/2016 disebutkan Penentuan komponen dan jenis kebutuhan hidup ditinjau dalam jangka waktu 5 tahun dengan dua tahap yaitu pengkajian dan tahap penetapan hasil peninjauan komponen dan jenis kebutuhan hidup, dimana kajian tsb dilakukan oleh Dewan Pengupahan Nasional atau DPN (ada di Pasal 6 dan 7). Kajian tsb dilakukan dengan melakukan pengumpulan data dan informasi yang sumbernya dari BPS (Pasal 7 ayat 2).
Menurut saya, disini pun peran DPN dikebiri dalam melakukan kajian karena sumber data dan informasinya hanya berasal dari BPS, tidak dibuka dari sumber lainnya, apalagi sumber dari data primer yaitu dari hasil survey ke pekerja/buruh. Seharusnya DPN diberi kewenangan untuk mencari data dan informasi dari lembaga lain dan diberikan kewenangan melakukan survey langsung ke pekerja/buruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar