Jumat, 18 September 2015

Dana JHT mestinya bukan obyek pajak



 Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar
menyatakan, dana Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan tabungan pekerja
yang disisihkan tiap bulannya dari upah yang diterima (yang ditabung
oleh pekerja sebesar 2% dan pengusaha 3.7%) untuk menjamin
masa tua pekerja.
Menurut dia, dana JHT ini juga dapat digunakan ketika pekerja
mengalami PHK yang sulit mendapatkan pesangon ataupun
pekerjaan baru.
"Oleh karena itu status dana JHT adalah Dana Tabungan dan bukan penghasilan
pekerja seperti upah," kata Timboel dalam siaran pers, di Jakarta, Senin
(7/9/2015).


Dikatakan, Peraturan Pemerintah (PP No. 68 Tahun 2009 tentang Tarif
Pajak PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua (JHT)
Dibayarkan Sekaligus, memposisikan dana JHT sebagai "Penghasilan"
Pekerja sehingga Dana JHT yang ditabung pekerja dan pengusaha
tersebut ketika akan diambil oleh pekerja dikenakan pajak progresif
Berdasarkan Pasal 5 PP No.68/2009 dan pasal 4 ayat (1) Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) no. 16/2010, formula tarif PPh Pasal 21
atas berupa Jaminan Hari Tua (JHT),adalah sebagai berikut :

a.] sebesar 0% (nol persen) atas
penghasilan bruto sampai dengan
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah);
b.] sebesar 5% (lima persen) atas
penghasilan bruto di atas
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)

Atas dikenakannya PPh Pasal 2 terhadap dana JHT yang diambil
pekerja, ada beberapa hal perlu dikritisi oleh BPJS Watch :
1. Bahwa pendefinisian Dana JHT
sebagai Penghasilan adalah tidak
tepat. Bahwa Dana JHT adalah Dana
Tabungan pekerja dan pengusaha
yang ditempatkan di BPJS
Ketenagakerjaan. Bahwa oleh karena
itu tidak tepat bila Dana JHT
diposisikan sebagai obyek Pajak
seperti yang diatur pada Pasal 5 PP
No.68/2009 dan pasal 4 ayat (1)
Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
no. 16/2010.

2. Bahwa Dana JHT yang
ditempatkan di BPJS Ketenagakerjaan
tersebut dikelola dan diinvestasikan
di berbagai instrument investasi
yang menghasilkan Imbal Hasil
(yield). Tentunya Imbal Hasil dari
hasil investasi tersebut sudah
dikenakan pajak. Bahwa oleh karena
itu bila Dana JHT yang diambil
pekerja dikenakan pajak lagi maka
terjadi pengenaan pajak dua kali
(double tax) terhadap Dana JHT.
Bahwa selain itu pengenaan pajak
tersebut dikenakan dari seluruh
dana JHT yaitu Dana Pokok dan
Imbal Hasilnya. "Seharusnya
pengenaan pajak tersebut hanya
sekali saja yaitu pada Dana Imbal
Hasil saja, tidak ikut Pokoknya Ini
tidak adil bagi pekerja," tegasnya.

3. Bahwa Dana JHT diambil pada
saat pekerja mengalami PHK,
memasuki masa pensiun, meninggal
dunia ataupun mengalami cacat
total. Tentunya kondisi-kondisi
tersebut merupakan masa sulit bagi
pekerja dan atau pun keluargannya
untuk menyambung hidup karena
pekerja sudah tidak memiliki
penghasilan atau upah lagi. Bahwa
penarikan Dana JHT merupakan cara
terakhir bagi pekerja untuk
mempertahankannya hidupnya
beserta keluargannya.

"Oleh karena itu bila Dana JHT yang diambil pekerja harus dikenakan
pajak lagi maka pemerintah telah mempersulit dan mengurangi
kesempatan pekerja untuk bisa hidup sejahtera," kata Timboel.
Dari uraian di atas, maka BPJS Watch mendesak pemerintah untuk
merevisi PP No.68/2009 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No. 16/2010 dengan mengeluarkan [tidak memasukkan] Dana JHT sebagai obyek pajak,
sehingga Dana JHT yang merupakan tabungan pekerja sepenuhnya dapat
diterima oleh pekerja tanpa lagi ada pemotongan pajak.

sumber : Satrio Widianto www.pikiran-rakyat.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar