Slamet Suradio (74) hanya bisa mengelus dada
saat tahu ada tragedi Bintaro kedua yang
merenggut korban jiwa.Dia tak menyangka,kecelakaan fatal bisa
kembali terjadi setelah peristiwa memilukan yang dialaminya.
Mbah Slamet 'Bintaro', begitu dia biasa
disapa, adalah masinis KA 225, kereta api
yang berangkat dari Stasiun Sudimara
kemudian bertabrakan dengan KA 220
yang datang dari arah berlawanan.
Dua kereta itu 'adu banteng' hingga membuat
156 nyawa melayang dan ratusan lainnya
luka-luka. Kejadian berlangsung pada
Senin 19 Oktober 1987.
Meski sudah terjadi sekitar 26 tahun lalu,
peristiwa itu masih terus menempel dalam
ingatan Slamet. Dia masih hapal kronologi
kejadian menit per menit hingga akhirnya
terjadi tabrakan.
"Saya sempat ngerem luar biasa,
namanya juga pengen hidup. Tapi
karena jaraknya terlalu dekat, nggak
bisa," kata Slamet saat ditemui di
kediamannya di Dusun Krajan Kidul, Desa
Gintungan, Kecamatan Gebang,
Purworejo, Jateng, Kamis (12/12/2013).
Slamet adalah orang dibalik kemudi KA 225 jurusan Rangkas Bitung-Jakarta Kota yang bertabrakan dengan KA cepat 220 jurusan Tanah Abang-Merak. Kejadian ini tercatat sebagai salah satu musibah paling buruk dalam sejarah transportasi di Indonesia.
Dalam kecelakaan yang merenggut 156 nyawa itu, Slamet dipersalahkan. Dia terbuang jauh dari pekerjaan yang teramat dia cintai. Dia dianggap menyalahi aturan karena memberangkatkan kereta tanpa izin Pimpinan Perjalanan Kereta Api (PPKA).
Kecelakaan itu berawal saat KA 225 yang dikemudikan pria ini sedianya akan bersilang dengan KA 220 Patas di Stasiun Kebayoran yang hendak ke Merak. Itu berarti KA 220 Patas di stasiun Kebayoran harus mengalah, namun PPKA Stasiun Kebayoran tidak mau mengalah dan tetap memberangkatkan KA 220.
PPKA Stasiun Sudimara, Djamhari kemudian memerintahkan juru langsir untuk melangsir KA 225 masuk jalur 3. Saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan (kode khusus di dunia perkeretaapian) yang diberikan, karena penuhnya lokomotif pada saat itu.
Slamet lalu membunyikan Semboyan 35 dan berjalan. Juru langsir kaget dan mengejar kereta itu. Ia naik di gerbong paling belakang. Para petugas stasiun juga kaget, beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda motor.
Djamhari mencoba menghentikan kereta dengan menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil. Dia pun langsung mengejar kereta itu dengan mengibarkan bendera merah. Namun sia-sia.
Djamhari kembali ke stasiun dan membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Tetapi kereta tetap melaju. Setelah diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.
KA 225 berjalan dengan kecepatan 25 km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 220 berjalan dengan kecepatan 30 km/jam.
Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang, Senin pagi itu bertabrakan di tikungan S ± Km 18.75. Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 itu rusak berat.
Kala itu, Slamet merasa sudah mendapat izin dari pihak Stasiun Sudimara untuk
melajukan kereta. Kondekturnya sudah naik, lalu tak ada gerakan apa pun untuk
menghentikan kereta. Selain itu, dia juga yakin tak akan ada kereta yang
diberangkatkan dari arah berlawanan karena dia sudah mengantongi
Pemindahan Tempat Persilangan (PTP).
"Kalau udah punya PTP nggak boleh ada yang berangkat lagi," imbuhnya.
Tapi ternyata KA 220 tetap berangkat dari Stasiun Kebayoran. Tabrakan dahysat itu
pun terjadi. Slamet yang berada di ruangan kabin masinis terpental. Seluruh
tubuhnya mengalami luka, bahkan ada yang tertusuk pecahan kaca.
"Sampai sekarang masih ada memarnya,"
imbuhnya.
Setelah kejadian itu, Slamet ditetapkan sebagai tersangka dan
dijerat hakim dengan pasal 359 KUHP yakni kalalaian yang menyebabkan
kematian orang lain. Dia diganjar dengan hukuman paling maksimal yakni 5 tahun.
Slamet merasa hukuman itu tidak adil karena dia hanya menjalankan apa yang
sudah diinstruksikan pihak stasiun. Lalu, dia juga tak mendapat uang pensiun.
Berbeda dengan tersangka lain seperti kondektur KA 225 Adung Syafei yang
mendapat hukuman penjara 2,5 tahun dan Umrihadi, PPKA Kebayoran Lama
yang dipenjara 10 bulan.
"Yang lain dapat pensiun, kenapa saya nggak?" protes pria yang masih
menyimpan surat keanggotaan di Perusahaan Kereta Api ini.
Setelah menjalani kehidupan penjara, Slamet pun akhirnya memilih pulang
kampung ke Purworejo. Dia menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk
bertahan hidup. Salah satunya dengan berjualan rokok di rumah.
"Untuk menambah-nambah makan saja, walaupun keuntungannya nggak
seberapa tapi lumayan," jawabnya sambil duduk di atas kursi.
Kisah Lain...
Di Stasiun Sudimara sendiri, terdapat 3 jalur yang saat itu sedang penuh dengan KA. Mengetahui hal tersebut, Djamhari selaku kepala PPKA ( Pengatur Perjalanan Kereta Api ) Stasiun Sudimara menghubungi Stasiun Kebayoran Lama untuk melakukan persilangan jalur di Stasiun Kebayoran Lama, namun Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama, Umriyadi / Umrihadi menolaknya dan tetap meminta persilangan dilakukan di Stasiun Sudimara.
Mau tak mau, Djamhari kemudian mengosongkan jalur 2 untuk menampung KA 220 Patas yang telah berangkat dari Stasiun Kebayoran Lama setelah mendapat izin dari Kepala PPKA dengan memindahkan KA 225 ke jalur 1. Djambhari kemudian memerintahkan Juru Langsir untuk memberi tahu masinis jika KA 225 hendak dipindah ke jalur 1. Juru Langsir kemudian memberi peringatan kepada masinis dan penumpang dengan mengibaskan Bendera Merah dan meniup peluit Semboyan 46 ( tanda kepada masinis dan penumpang jika kereta akan dilangsir )tanpa membatalkan perintah persilangan yang terlanjur diberikan kepada masinis KA 225.
Masinis KA 225 mendengar bunyi peluit Juru Langsir, namun ia tidak dapat memastikan apakah itu bunyi semboyan 46 atau semboyan 40 ( tanda ketika petugas peron memberi sinyal hijau kepada kondektur KA, artinya jalur telah aman untuk dilalui ). Karena kondisi kereta yang penuh sesak, masinis pun menanyakan kepada penumpang yang berdiri di luar lokomotif, dan orang tersebut menjawab jika sudah waktunya kereta berangkat tanpa memastikan kembali. Maka semboyan 41 ( tanda yang dibunyikan oleh kondektur sebagai respon atas dimengertinya semboyan 40 ), disusul kemudian dibunyikannya semboyan 35 ( masinis membuyikan klakson sebagai tanda kereta akan berangkat ). Sang Masinis tidak tahu jika semboyan 40 belum diberikan olah Kepala PPKA, dan ia memberangkatkan kereta hanya karena jawaban seseorang yang mengatakan jika kereta telah siap untuk berangkat.
Pada pukul 07.00 WIB, KA 225 berangkat tanpa ijin dari Kepala PPKA. Para petugas di Stasiun Sudimara dan Kepala PPKA langsung panik saat mengetahui KA 225 telah berangkat tanpa ijin, apalagi setelah Djamhari dihubungi oleh Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama jika KA 220 Patas juga telah berangkat menuju Sudimara. Juru Langsir kemudian langsung mengejar KA 225 dan berhasil naik gerbong paling belakang,namun sayangnya ia tidak dapat memberi tahu sang masinis, beberapa petugas lain mengejar dengan motor. Djamhari pun mengibaskan Bendera Merah dan menaikturunkan Sinyal Palang KA sebagai peringatan kepada Masinis KA 225, namun anehnya tidak satupun yang terlihat oleh sang Masinis.
Di saat yang genting tersebut, Djamhari kemudian berlari mengejar KA 225 dan berteriak " Tolong...Pasti Tabrakan...Tolong...Pasti Tabrakan!!! ", namun karena kereta telah berjalan lebih dari 50 km/h maka Djamhari sudah tidak dapat mengejarnya lagi. Kemudian, Djamhari kembali ke Stasiun Sudimara dan menghubungi Stasiun Kebayoran Lama agar KA 220 Patas segera dihentikan di Palang Pintu Pondokbetung.
Sang PPKA kemudian mencoba usaha terakhirnya untuk mencegah terjadinya tabrakan dengan membuyikan Semboyan Bahaya ke Bel Genta perlintasan. Namun bencana seperti sudah ditakdirkan, petugas Palang Pintu Pondokbetung tidak hafal semboyan bahaya tersebut dan menganggapnya sebagai percobaan saja. Sudah dapat ditebak, akibatnya sangat fatal karena KA 220 Patas melaju lurus dengan kecepatan cukup tinggi melewati Palang Pintu Pondokbetung.
Akhirnya, KA 225 yang telah meninggalkan Stasiun Sudimara sejauh 8 km dan berjalan dengan kecepatan kurang lebih 45 km/h bertemu dengan KA 220 Patas yang berjalan dengan kecepatan 25 km/h di Lengkungan S ( dekat tikungan melengkung Bintaro ). Kedua masinis kereta yang sama - sama sarat penumpang tersebut tak ayal kaget bukan kepalang ketika dua kereta tersebut saling bertemu. Masinis Slamet Suradio berusaha mengerem KA, namun dengan muatan penuh seperti itu, kereta membutuhkan jarak sekitar 500 meter untuk berhenti.
Pada pukul 07.10 WIB, suara benturan yang sangat keras terdengar ketika kedua kereta api saling bertabrakan. Karena muatan yang penuh dan massa kedua lokomotif yang besar, mengakibatkan kedua lokomotif seakan - akan tertelan gerbong, kemudian terguling. Masinis dan asisten KA 220 Patas selamat dengan luka ringan karena berjongkok di lantai lokomotif, sedangkan Masinis KA 225 dan asistennya terluka parah. Begitu mengerikannya tabrakan yang terjadi hingga para penumpang yang menjadi korban sulit untuk diidentifikasi lagi karena rusak. Hasil dari penyelidikan mengatakan jika korban paling banyak berasal dari gerbong terdepan dimana gerbong tersebut menabrak lokomotif hingga lokomotif menjepit gerbong. Beberapa saat kemudian, korban yang tewas seketika diperkirakan 72 orang ( ada yang mengatakan 156, 153, 116 orang ), 200 orang tewas setelah sekarat, dan 300 lebih luka - luka.
Tragedi Bintaro merupakan kecelakaan kereta api terbesar yang pernah terjadi Indonesia, celakanya lagi peristiwa itu terjadi akibat dari kelalaian manusia. Masinis yang tidak memastikan bunyi semboyan dengan benar, Kepala PPKA yang kurang berkomunikasi, hingga yang paling fatal, petugas Palang pintu yang tidak hafal semboyan Bel Genta adalah sebagian dari kunci utama penyebab tragedi berdarah ini terjadi. Masinis Slamet Suradio diganjar hukuman 5 tahun kurungan atas kelalaiannya, begitu juga dengan kondektur KA 225 yang harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan, dan Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama Umriyadi yang dipenjara selama 10 bulan.
Tragedi Bintaro diabadikan dalam salah satu lagu Iwan Fals berjudul 1910 (19 oktober)
Lirik lagu:
Apa kabar keretayang terkapar di Senin pagi
Di gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah
Air mata...airmata....
Belum usai....peluit belum habis putaran roda
Aku dengar jerit dari Bintaro
Satu lagi cacat dalam sejarah
Air mata...air mata
Berdarahkah tuan yang duduk dibelakang meja
Atau cukup hanya ucapan belasungkawa
Aku bosan....
Lalu terangkat semua beban di pundak
Semudah itukah luka-luka terobati
Nusantara...tangismu terdengar lagi
Nusantara....derita bila berhenti
Bilakah...bilakah..
...
Sembilan belas Oktober...tanah Jakarta berwarna merah
Meninggalkan tanyayang tak terjawab
Bangkai kereta lemparkan amarah
Air mata...air mata
Nusantara....langitmu saksi kelabu
Nusantara....terdengar lagi tangismu
Nusantara....kausimpan kisah kereta
Nusantara....kabarkan marah sang duka
Saudaraku pergilah dengan tenang
Sebab luka sudah tak lagi panjang
Saudaraku pergilah dengan tenang
Tragedi berdarah ini masih menyisakan duka yang sangat dalam bagi keluarga korban, bahkan telah beredar kabar bahwa lokasi kecelakaan kedua KA tersebut menjadi angker dan dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu tempat terangker di Jakarta, setidaknya begitulah kisahnya.
sumber: Detikcom , Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar