JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) mengaku
mendukung sepenuhnya usulan pemberian cuti menyusui selama 6
bulan bagi ibu bekerja. AIMI menganggap, pemberian cuti melahirkan selama 3 bulan belum
cukup membantu ibu bekerja dalam memaksimalkan pemberian ASI
Eksklusif kepada bayi.
Hal itu disampaikan Mia Sutanto, Ketua AIMI, saat acara media gathering
dengan tema 'Perlindungan Hak Menyusui Bagi Ibu Bekerja, Kamis,
(2/8/2012), di Jakarta.
"Ini adalah usulan positif untuk adanya cuti melahirkan selama 6 bulan asalkan
cuti melahirkan bisa diterapkan ke semua pekerja wanita baik di sektor
formal atau informal," katanya.
Mia mengatakan, pemberian cuti melahirkan selama 6 bulan untuk ibu
pekerja bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan ASI
eksklusif. Dukungan dari keluarga dan masyarakat sekitar juga punya peran
yang tidak kalah penting.
"Mungkin bagi ibu-ibu bekerja yang mendapat cuti bekerja 3 bulan
waktunya terasa kurang. Pemerintah memang sudah seharusnya mempertimbangkan untuk
memberikan cuti melahirkan 6 bulan," katanya.
Mia mengaku sudah pernah mengajukan usulan ini ke DPR (komisi
IX). Namun sampai sekarang belum ada tanggapan.
Diakui Mia bahwa memang tidak mudah bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan cuti melahirkan
6 bulan bagi ibu bekerja karena banyak pihak yang nantinya akan ikut
terlibat didalamnya jika aturan itu jadi disepakati.
"Ini tidak hanya urusan Kemenkes, tetapi juga terkait dengan Kementerian
Tenaga Kerja, Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. Selain itu,
ada pihak tertentu yang mungkin beranggapan bahwa menyusui 6
bulan waktunya terlalu lama, sehingga secara negatif memegaruhi kinerja
perusahaan," bebernya.
Padahal, kata Mia, dengan membantu keberhasilan ibu menyusui,
perusahaan justru akan diuntungkan karena ibu dan bayi menjadi lebih
sehat. Menurutnya, perlu ada sosialisasi kepada para pemilik usaha bahwa
pemberian cuti melahirkan 6 bulan tidak akan berdampak negatif
terhadap produktifitas perusahaan.
"Coba bandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti Bangladesh dan vietnam yang sudah
menerapkan cuti melahirkan 6 bulan. Kalau mereka bisa kenapa kita tidak,"
tutupnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak,
Slamet Riyadi Yuwono menyampaikan, saat ini pemerintah masih berpegang
pada ketentuan yang tertera dalam UU Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003
dengan masa cuti melahirkan selama 3 bulan.
"Kalau dijalankan dengan optimal, tidak usah cuti 6 bulan tetap bisa berjalan
baik. Jadi tidak ada alasan lagi, ibu bekerja tetap bisa eksklusif menyusui
bayinya," kata Slamet ketika dihubungi Kompas.com.
Slamet mengatakan, adanya desakan agar cuti menyusui menjadi 6 bulan itu
baik. Artinya ada kepedulian dari masyarakat akan pentingnya
pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif.
Ia mengakui idealnya memang ibu pekerja berhenti bekerja untuk
memberi ASI eksklusif kepada buah hatinya. Namun, dalam pelaksanaannya tetap harus realistis.
Tak ketinggalan Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi mendesak pemerintah agar
mengeluarkan regulasi yang memberi kesempatan kepada ibu pekerja
selama pemberian ASI eksklusif untuk cuti menyusui 6 bulan di luar cuti hamil
dan melahirkan.
Demikian disampaikan Ketua Yayasan Gerakan Masyarat Sadar Gizi, Dr. Tirta
Prawita Sari, MSc, SpGK, kepada Kompas.com, menyambut pekan ASI
Sedunia yang tepat jatuh pada 1 Agustus , melalui pesan elektroniknya.
Seperti telah diketahui, pemerintah saat ini hanya menetapkan cuti melahirkan
sesuai UU Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003 yaitu selama 3 bulan.
Implementasinya di lapangan, cuti menyusui hanya dilakukan oleh sedikit
institusi bagi pekerjanya. Kebijakan mengenai cuti ibu menyusui atau
mengenai keluangan waktu untuk menyusui belum mendapatkan
perhatian yang serius.
"Dengan masa cuti yang sangat sempit seperti itu, akan menyebabkan
kesempatan ibu untuk kontak menyusui bayi juga sangat terbatas," katanya.
Padahal, kata Tirta, semua orang tahu bahwa ibu yang menyusui selain
karena ASI yang diberikan mengandung berbagai nutrisi yang
diperlukan oleh bayi, kegiatan menyusui juga dapat mempererat
hubungan emosional (bonding) antara ibu dan bayi. Gizi seimbang dalam ASI
membuat bayi lebih sehat, lebih cerdas, tidak mudah sakit, dan tidak mengalami
obesitas.
Tirta mengungkapkan, pemberian ASI tidak hanya menguntungkan bayi,
melainkan juga si ibu. Sebagai contoh, pemberian ASI Eksklusif dapat menjadi
metode Keluarga Berencana (KB) dimana kehamilan dapat dicegah bila
ibu menyusui langsung bayi selama 6 bulan, yang disebut dengan Metode
Amenorea Laktasi (MAL).
Selain itu,ada pula jenis kanker yang dapat dicegah dengan menyusui, salah
satunya kanker payudara.
"Pemerintah harus lebih memperhatikan dan mengeluarkan aturan yang mendukung ibu bekerja
yang menyusui ASI eksklusif untuk membangun generasi bangsa yang
sehat dan cerdas di masa depan," jelasnya.
Pemerintah, lanjut Tirta, kurang menyadari posisi ibu menyusui yang
juga bekerja bukanlah posisi yang seharusnya dibenturkan pada
kenyataan keharusan memilih antara kewajiban memberikan ASI atau tetap
bekerja.
Pasalnya, kebanyakan perempuan pekerja tersebut bukan berasal dari
kalangan ekonomi kelas menengah atas yang bekerja semata sebagai
aktualisasi. Namun mereka berkerja sebagai tuntutan ekonomi keluarga
karena suami yang tak memiliki penghasilan yang memadai.
"Jika kontak ibu dengan bayi dibatasi terus menerus, maka para ibu di tidak
dapat menyusui anak mereka untuk mendapatkan gizi terbaik dari ASI.
Akibatnya anak Indonesia dapat menderita kekurangan gizi,
menurunkan kecerdasan anak, juga meningkatkan angka kesakitan dan
kematian bayi," tegasnya.
Tirta beranggapan, kebijakan cuti melahirkan selama 3 bulan menjadi
ambigu dan tidak konsisten. Padahal,dalam PP 33 tentang ASI Eksklusif
tersebut jelas sekali bahwa setiap ibu wajib memberikan ASI kepada bayinya
secara eksklusif.
"Dengan beban tersebut, fasilitas yang diberikan oleh pemerintah terhadap
wanita pekerja yang juga menjalankan fungsinya sebagai ibu menyusui jelas
tidak akan berfungsi optimal," terangnya.
Perbandingan negara lain Sebuah penelitian di Australia yang
dilakukan oleh National Health Survey tahun 2001 menyebutkan alasan-
alasan para ibu menghentikan pemberian ASI adalah karena ASI
tidak mencukupi atau tidak diproduksi,puting lecet, dan kembali ke pekerjaan.
Untuk mengatasi masalah pemberian ASI ekslusif dan pekerjaan. Di Australia,
setiap keluarga diberi jatah cuti maksimal 52 minggu tidak dibayar,
seorang ibu dapat menggunakan jumlah waktu yang dinginkan untuk
cuti. Ibu yang menyusui juga mendapat kelonggaran dari bekerja sepanjang
hari menjadi paruh waktu (1- 15 jam per minggu) atau waktu yang fleksible.
Hal yang sedikit berbeda dilakukan oleh negara Inggris, dimana 39 minggu
diantara 52 minggu jatah keluarga dengan tetap mendapat gaji.
Sementara di Brazil, ibu bekerja yang menyusui mendapat jadwal 2,5 jam
diantara jam kerja untuk menyusui bayi selama 6 bulan. Berbeda lagi dengan
Swedia, disini ibu yang baru melahirkan mendapat cuti melahirkan dan
merawat bayi sampai 18 bulan, sedangkan di Republik Ceko selama 7
bulan (28 minggu).
Workingmother.com dan NAFE (National Association for Female Executives)
mengumpulkan daftar 50 perusahaan terbaik untuk wanita eksekutif yang
menghormati para ibu bekerja. Perusahaan tersebut menawarkan
beberapa benefit untuk para ibu yang kembali bekerja setelah cuti hamil, di
antaranya:
1. Bekerja secara telecommuting (dari
jarak jauh atau dari rumah)
2. Bekerja secara paruh waktu dengan
bayaran full
3. Memberikan cuti melahirkan dan digaji
penuh
4. Asuransi kesehatan, penanggungan
biaya dokter, obat hingga unit gawat
darurat
5. Penitipan anak, yang disediakan di
kantor atau ditanggung biayanya oleh
perusahaan
Sementara menurut studi ABS,kebanyakan wanita bekerja tidak mengurus anak. Karena masih banyak
perusahaan yang menyikapi keadaan tersebut dengan ‘family friendly’ dan
menggantungkannya dengan persamaan gender, terang itu masih sangat kuno. Sehingga rata-rata wanita
bekerja adalah mereka yang tidak mempunyai anak di bawah 18 tahun.
Seperti dilansir Optimiss Consulting dimana 53% pekerja paruh waktu tidak
memiliki anak di bawah 12 tahun. 79%,pekerja penuh waktu tidak mempunyai
anak di bawah 12 tahun dan 64% pekerja penuh waktu tidak mempunyai
anak di bawah 18 tahun.
Yang menarik lainnya adalah melihat berbagai kebijakan cuti untuk para ibu di
beberapa negara. Seperti di Arab Saudi, mereka memberikan waktu cuti sebanyak
70 hari dan hanya membayar 50% gaji. Sementara di China 90 hari dan gaji
dibayarkan penuh, begitu juga di Indonesia yang rata-rata menerapkan cuti
3 bulan dengan gaji full. Inggris yang memberikan waktu cuti paling lama yaitu
280 hari dengan 90% gaji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar