Selasa, 21 April 2015

MK Menolak Permohonan Uji UU Ketenagakerjaan APINDO

Mahkamah Konstitusi memutus menolak permohonan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)
Surabaya, pemohon pengujian Undang-Undang  Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan,
Kamis, (19/03).


Dalam sidang pengucapan putusan untuk perkara nomor 11/PUU-XII/2014 yang dipimpin Ketua MK,
Arief Hidayat, Mahkamah dalam pertimbangannya memberikan penilaian terhadap permohonan
pemohon yang mengatakan bahwa materi muatan Pasal 88 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan sepanjang anak kalimat “dan dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”, dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam frasa
“dengan memperhatikan”, telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
panitera MK, Kasianur Sidauruk saat menyerahkan berita salinan putusan perkara uji materi UU Ketenagakerjaan kepada Yudi Pramadi Putra , kuasa hukum APINDO (19/3/2015)

Terhadap dalil Pemohon, menurut Mahkamah adanya frasa \"dan dengan memperhatikan produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi\" dalam Pasal 88 ayat (4) undang-undang tersebut adalah sebagai bentuk
keseimbangan dalam penetapan upah minimum, dengan memperhatikan tingkat produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Mahkamah menilai
jika frasa tersebut dihilangkan maka dapat menimbulkan ketidakpastian
dan ketidakadilan, dalam arti tidak adanya keseimbangan antara
kepentingan pekerja/buruh dan pengusaha.
Selanjutnya terhadap dalil Pemohon bahwa rekomendasi dari Dewan Pengupahan seringkali diabaikan,
Mahkamah berpendapat argumentasi Pemohon hanya berdasarkan kejadian yang terjadi di Provinsi
Jawa Timur dan Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut telah terjadi secara umum di
seluruh wilayah Indonesia.
Mahkamah melihat, dalam menerapkan Upah Minimum Provinsi(UMP), gubernur harus
memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan. Unsur-unsur dari  Dewan Pengupahan telah
mencakup seluruh pemangku kebijakan ( stakeholder), sebagaimana tercermin dalam komposisi
keanggotaan Dewan Pengupahan yang meliputi unsur pengusaha,unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
unsur Pemerintah, unsur perguruan tinggi dan pakar sehingga keputusan yang diambil telah
mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Terhadap dalil Pemohon, yang mempersoalkan bahwa dalam praktiknya Pasal 89 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan juga telah membuka ruang untuk ditafsirkan dengan
segala kemungkinan sehingga terjadi multitafsir serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan, menurut Mahkamah ketentuan tersebut justru spesifik mengatur mengenai implementasi/
penerapan ketentuan-ketentuan dan kebijakan tentang upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
88 ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, telah nyata bahwa permohonan Pemohon
bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi norma Pasal
88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
“Namun demikian, terlepas dari pertimbangan tersebut di atas, guna mencegah timbulnya
penyalahgunaan dalam praktik, Mahkamah perlu mengingatkan bahwa seharusnya kebijakan
gubernur dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab
dengan cara demikian, kasus-kasus yang serupa dengan kasus yang dijadikan salah satu argumentasi
dalam permohonan a quo dapat dicegah,” tegas Wakil Ketua MK,Anwar Usman yang membacakan
bagian pertimbangan Mahkamah.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum diatas, Mahkamah berpendapat bahwa
permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Anwar Usman. (Ilham)

sumber : www.mahkamahkonstitusi.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar