Jumat, 25 Oktober 2013

El Clasico, dari Politik hingga Intrik Media di Spanyol

KOMPAS.com - Hampir dalam tiap ajang olahraga, selalu ada rivalitas menyertai. Di
arena balap Formula 1, dunia pernah menyaksikan Niki Lauda-James Hunt,
Ayrton Senna-Alain Prost hingga Michael Schumacher-Mika Hakkinen adu salip
menjadi juara dalam tiap grand prix.
Di ring tinju pun kita mengenal persaingan Muhammad Ali dan Joe Frazier.
Sementara di lapangan hijau, rasanya persaingan Barcelona dan Real Madrid
mewakili rivalitas yang setara dengan contoh-contoh itu.
Sejak pertemuan perdana kedua klub pada 1929 hingga terakhir pada 2 Maret
2013, rivalitas Barca dan Madrid telah mengalami transformasi. El Clasico -begitu
sebutan pertandingan ini- semula adalah simbol perlawanan bangsa Catalan
terhadap sentralisasi kekuasaan Jenderal Franco di ibu kota Madrid.
Perjalanan waktu menggeser laga kedua klub sebagai pertarungan memperebutkan klaim menjadi yang paling superior di negara Semenanjung Iberia itu. Beragam bumbu pun turut mewarnai adu sikut Blaugrana dan Los Blancos. Mulai dari rebutan pemain,
transfer kontroversial, hingga persaingan manajer dan pemain terbaik.

Embrio Franco

Membahas rivalitas Barca-Madrid, sulit untuk tidak memulainya dari Francisco
Franco, eks diktator Spanyol yang berkuasa sejak 1939 hingga meninggal
pada 1975. Seusai Perang Saudara di Spanyol, Barcelona menjadi salah satu
sasaran manuver Franco dalam memulai sentralisasi kekuasaan.
Setelah mengeksekusi presiden Barcelona Josep Sunyol pada 1936, Franco
'mengacak-acak' internal klub Barcelona. Ia menempatkan salah satu tangan
kanannya sebagai presiden klub, mengganti lambang klub Barcelona, menghapus simbol senyera, serta mengganti nama Barcelona dengan Barcelona Club de Futbol yang lebih
bernuansa Spanyol. Warga Catalan menjadikan Barcelona dan Stadion Les Corts sebagai bagian dari pernyataan politik melawan Franco.
Bukunya El Clasico: Barcelona vs Real Madrid: Football's Greatest Rivalry, karya
jurnalis Richard Fitzpatrick menggambarkannya.
Fitzpatrick mengutip pernyataan Joan Maria Pou, seorang penyiar radio Catalan,
untuk menuturkan bagaimana menjadi socio (anggota) klub Barca merupakan
sikap politik bagi warga Catalan.
"Ayahku lahir pada 2 Januari 1945. Ketika ia lahir, kakekku langsung
mendaftarkannya ke Les Corts. [...]. Di balik tindakan ini ada pesan terselip.
Kakekku memang sangat menyukai Barcelona. Tapi lebih dari itu, ia adalah
orang Catalan dan ia benci Franco. Ia menentang institusi pemerintahan resmi.
Barca-lah satu-satunya institusi yang mewakili perasaannya."
[...]
"Zaman sekarang, Anda tak perlu menggunakan Barca untuk mendefinisikan diri Anda. Tapi masa itu beda."
Dalam buku tersebut, Fitzpatrick menyebut identitas penduduk Barcelona terbentuk
dari sentimen anti-Madrid. Warga Catalan kerap membanggakan identitas mereka,
terlihat dari cara mereka mempertahankan bahasa asli Catalan ketimbang bahasa
Castilla yang lebih umum digunakan di Madrid.
Warga Catalan juga berupaya keras memperoleh otonomi daerah. Meski Franco sudah lama wafat dan era pemerintahan Spanyol telah berganti, tensi politik antara Catalan dan Madrid tetap terasa hingga kini.

Dua kuda pacu kaya

Selain faktor sejarah dan muatan politisnya, El Clasico dipanaskan pula
dengan perebutan pengaruh kedua klub sebagai penguasa utama Liga Spanyol.
Indikasi soal ini dapat terlihat sejak musim 2004/05.
Menurut statistik di situs Goal.com, tim yang mampu menang setidaknya dalam satu
laga El Clasico punya kans lebih besar untuk menjuarai liga pada akhir musim.
Sebutlah musim 2005/06 sebagai contoh pertama.
Dalam El Clasico di Santiago Bernabeu, Barca pulang dengan kemenangan 3-0.
Lalu pada kunjungan balasan Madrid ke Camp Nou, kedua tim bermain imbang
1-1. Hasilnya, di akhir musim, Barca-lah yang menjuarai liga.
Sebaliknya adalah musim 2006/07. Madrid menang 2-0, lalu imbang 3-3 dalam dua
kali pertemuan kedua klub. El Real pun sukses mengudeta Barca sebagai juara.
Musim 2012/13 barangkali adalah pengecualian. Meski Madrid sempat mengalahkan Barca 2-1 di Santiago Bernabeu, namun justru Barcelona yang merajai liga di akhir musim.
Dalam sebuah pernyataannya pada Agustus, gelandang andalan Barca Xavi
Hernandez pernah menolak anggapan bahwa Liga Spanyol merupakan ajang dua kuda pacu. Ia berpendapat saat ini lebih banyak klub Spanyol yang bisa menjadi kekuatan baru. Malaga, sebut dia, adalah salah satunya.
"Aku tak percaya kompetisi Liga BBVA hanya untuk dua kuda pacu. Seluruh klub
berjuang meraih kemenangan. Malaga telah membuktikan hal tersebut," jelas Xavi
usai menaklukkan Malaga 1-0, Minggu (25/8/2013).
Namun nyatanya, sejak 2004 Barca dan Madrid praktis adalah penguasa La Liga.
Seperti yang dikemukakan Fitzpatrick, sulit bagi suporter selain kedua klub untuk
memikirkan kans juara. Klub-klub lain hanya berkonsentrasi untuk bertahan di
La Liga, atau memburu tiket kompetisi Eropa.

Mengapa Barca dan Madrid?

Tak bisa dipungkiri, ada kekuatan dana bicara. Bukan rahasia, soal besarnya
anggaran kedua klub raksasa itu. Fitzpatrick menyebut, anggaran belanja
kedua tim ini empat kali lebih besar dibanding klub-klub lain. Favoritisme
penonton televisi terhadap dua klub ini pun turut berpengaruh.
Sistem pembagian hak siar di Spanyol tidak sama dengan di Inggris, misalnya.
Klub-klub Spanyol tidak bernegosiasi secara kolektif mengenai pembagian hak
siar. Masing-masing klub bernegosiasi sendiri. Hanya sedikit klub yang bisa
menawar dengan harga tinggi, yang itu adalah Madrid dan Barca di antaranya.
Dalam satu musim, baik Madrid mau pun Barca bisa menangguk 110 juta euro dari
hak siar televisi. Jumlah ini dua kali lipat dibanding juara Premier League
Manchester United yang 'hanya' mendapat 50 juta euro.
Bandingkan dengan Valencia yang hanya menangguk 37 juta euro. Klub-klub
pesaing pun tak berdaya sehingga menyuarakan perlunya pembagian hak
siar yang lebih adil.
Keuntungan dari hak siar, ditambah penjualan tiket stadion serta merchandise
ini memungkinkan Barca mau pun Madrid membeli pemain-pemain yang dinilai layak
menjadikan skuad mereka mampu bersaing. Kehadiran bintang-bintang juga
menjadi "penghias" setiap episode El Clasico, membuat pertemuan kedua kubu
menjadi begitu memikat.

'By-product' rivalitas

Pada akhirnya, apapun sejarah dan latarnya, di lapangan hijau-lah bermuara
persaingan kedua klub ini. Karena itu, El Clasico pun kerap 'melahirkan' rivalitas baru.
Dalam tiap laga kedua tim, akan ada dua pelatih yang memutar otak demi
menemukan strategi terbaik meredam lawan. Di lapangan, akan ada dua pemain
tengah yang beradu lihai mengatur permainan, dan dua penyerang beradu
tajam untuk mencetak gol. El Clasico bukan lagi soal klub Barca atau Madrid.
Tengoklah era 2010/11 dan 2011/12. Ketika Barca masih dilatih Josep Guardiola
dan Madrid masih diarsiteki Jose Mourinho.
Setiap panggung El Clasico, menghadirkan pula sosok Pep dan Mou kerap sebagai penyita perhatian dunia, baik dari kejeniusan masing-masing beradu strategi maupun adu mulut mereka di media.
Rivalitas lain yang muncul pula dari El Clasico adalah Cristiano Ronaldo dan
Lionel Messi. Kerap digadang sebagai dua pesepak bola terbaik muka bumi saat ini,
CR7 dan Messi selalu dibandingkan, didiskusikan, hingga dijadikan perdebatan
soal siapa yang lebih baik. Setiap El Clasico datang, perhatian yang sudah
menggunung terhadap keduanya pun akan semakin bertambah.

Selain CR7 dan Messi, lampu sorot di lapangan hijau musim ini juga akan jatuh
pada dua pemain lain. Neymar, pemain berbakat Brasil yang didatangkan Barca
dari Santos, serta Gareth Bale yang kedatangannya ke Madrid memecahkan
rekor pemain termahal dengan banderol 100 juta euro. Pertanyaan untuk dua
nama ini adalah "sejauh apa kontribusi mereka di El Clasico".
Dari semua persaingan kontemporer, barangkali yang paling menarik adalah
pengaruh El Clasico terhadap media massa di Spanyol. Baik Madrid mau pun
Barca masing-masing disokong media olahraga besar di negara Semenanjung
Iberia tersebut.
Madrid didukung oleh AS dan Marca, sementara Barca didukung Sport dan
Mundo Deportivo. Keempat media ini kerap terlibat 'perang propaganda'
mengenai Madrid dan Barca demi menciptakan berita utama yang bombastis.
Contohnya saja saat Barcelona menang melawan Athletic Bilbao.
Contoh lain, tabloid AS memuat gambar yang menunjukkan seolah bek Barca Dani
Alves berada dalam posisi offside. Belakangan diketahui, foto tersebut telah
diedit sedemikian rupa dan menghilangkan bek lawan yang berada dalam posisi sejajar dengan Alves.
Mengutip Sid Lowe, kolumnis sepak bola Spanyol untuk tabloid Inggris Guardian, hal
ini berbeda dengan media massa di Inggris. Media Inggris seperti Guardian,
The Sun atau Mirror yang tak memihak klub mana pun di Premier League.
"Di Madrid, cerita yang menjual adalah Madrid menang. Editor sebuah surat kabar
mengakui, penjualan korannya meningkat setiap Madrid menang. Di Spanyol, prisma
untuk melihat ini (persaingan Madrid- Barca) sangat bias," kata Lowe, masih
dikutip dari buku Fitzpatrick.
Perkataan Lowe mendapat dukungan Santiago Segurla, penulis Marca.
"Perseteruan Madrid-Barca menciptakan jurnalisme kacangan yang menciptakan
(sikap) agresif dan mengakar pada kedua klub. Jurnalisme seputar dua klub ini
mengarahkan munculnya konfrontasi.
Pemberitaan yang ada lebih ke arah menyesatkan, ketimbang menunjukkan bahwa Barca-Madrid hanya bersaing di sepak bola," kata dia.
Saling memacu Tingginya tensi persaingan Barca dan Madrid, ditambah masifnya pemberitaan media memberi tekanan berat kepada kedua klub. Akibatnya, kekalahan menjadi sesuatu yang tak bisa ditolerir.
Tekanan ini juga yang menimbulkan sikap paranoia terhadap hal lain. Misalnya,
terhadap kepemimpinan wasit dalam pertandingan kedua kubu. Ujungnya tetaplah ambisi kedua klub untuk makin mengalahkan.
Namun pada akhirnya, persaingan antara Barca dan Madrid pula yang memicu satu
sama lain untuk terus memperbaiki diri. Hal ini diutarakan oleh Lowe.
"Mereka saling memacu. Kalau saja Barcelona tak sebagus itu, Madrid takkan
begitu berambisi menghabiskan banyak uang. Kalau Madrid tak begitu ngotot
mengejar Barcelona, Barcelona takkan repot-repot berpikir melakukan
penambahan pemain di skuad," kata Lowe.
El Clasico harus diterima bukanlah rivalitas biasa. Jejak sejarah, gengsi, ambisi bahkan propaganda media massa menjadi bensin yang membakar dan menjaga nyala
perseteruan ini.
Apakah sejarah panjang El Clasico berikut segala bumbu dan nuansanya itu masih
berlanjut, lapangan hijau yang kembali akan menguji. Kesempatan itu datang
pada Sabtu (26/10/2013) pukul 22.30 WIB, tayangan RCTI. Saat jutaan mata terpaku ke
pertandingan mereka, El Clasico pun akan menguji dirinya sendiri.

Penulis: Lariza Oky Adisty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar