Senin, 29 Februari 2016

Catatan Tentang demo Dokter

Hari ini ratusan dokter yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu
(DIB) berunjuk rasa di depan Istana Negara. Para dokter berdemo dgn
jas putih dan membawa berbagai spanduk.
Salah satu isi spanduk bertuliskan : "Kami adalah dokter pejuang
pelayan rakyat bukan hamba BPJS"',
dan "Kenapa pegawai BPJS asuransinya bukan BPJS."
Sepertinya para dokter merasa terancam dgn kehadiran JKN yg
dioperasionalkan oleh BPJS Kesehatan. Apakah memang benar JKN dan BPJS
menjadi penghambat kesejahteraan para dokter?
Menurut saya program JKN yg dioperasionalkan BPJS Kesehatan bukanlah
penghambat kesejahteraan para dokter. Kalaupun para dokter saat ini
berdemo mengeluhkan tentang kesejahteraannya maka sebenarnya pokok
masalahnya ada tiga hal yaitu :
1. Tarif INA CBGs yg diatur dalam Permenkes no. 59 Tahun 2014 belum
sesuai dgn harga keekonomian di RS RS khususnya RS Swasta. Sebenarnya
ada 14 rekomendasi hasil pembicaraan Kemenkes dan seluruh stakeholder
terkait tarif seperti asosiasi RS, Farmasi, dsb yg hingga saat ini
belum juga difollow up. Salah satu rekomendasi tsb adalah peninjauan
ulang besaran tarif INA CBGs pada RS swasta, renunerasi dokter dan
dokter spesialis serta besaran tarif obat. Belum ditindaklanjutinya
rekomendasi tsb hingga saat ini tentunya menimbulkan permasalahan bagi
kalangan RS swasta, dokter dan pasien atau peserta BPJS. Banyak pasien
yg harus mengeluarkan biaya sendiri (out of pocket) ketika berobat,
hal inj yg biasa disebut dgn cost sharing. Dalam tarif INA CBGs tsb
sebenarnya sudah termasuk renumerasi dokter dan dokter spesialis.
Menurut ketentuan Pasal 24 ayat 1 UU No. 40 tahun 2004 ttg SJSN
sebenarnya tarif INA CBGs tsb harus dirundingkan oleh BPJS kesehatan
dan asosiasi RS wilayah. Nah hasil perundingan tsb yg nantinya
dituangkan dlm Peraturan Menteri Kesehatan. Termasuk di dalamnya
negosiasi ttg renumerasi dokter dan dokter spesialis. Namun yg terjadi
saat ini Kemenkes secara sepihak menentukan tarif tsb tanpa melibatkan
pihak asosiasi RS.
Oleh karena itu sdh seharusnya pemerintah merevisi kembali Permenkes
no. 59 tahun 2014 tsb dgn memberikan kesempatan kpd BPJS kesehatan dan
Asosiasi RS untuk bernegosiasi menentukan tarif termasuk renumerasi
para dokter.
Bila pemerintah tidak mau merevisi Permenkes no. 59 tsb saya
mengusulkan agar Permenkes tsb di judicial review ke Mahkamah Agung
dgn dalil permenkes tsb sdh bertentangan dgn pasal 24 ayat 1 UU 40 /
2004. Saya mendorong DIB melakukan JR ini.
2. Masalah renumerasi dokter ini juga terkait dgn keterbukaan
manajemen RS kepada para dokter. Selama ini RS mengatur sendiri ttg
renumerasi dokter. Seharusnya manajemen RS mengajak para dokter di RS
nya untuk membicarakan tarif yg diberikan kpd para dokter. Pemerintah
harus bisa mendorong manajemen RS untuk terbuka kpd para dokter
terkait renumerasi para dokter.
3. Permasalah lainnya adalah terkait mahalnya biaya pendidikan dokter,
apalagi dokter spesialis. Pemerintah hrs meninjau kembali biaya
pendidikan dokter maupun spesialis. Jumlah Dokter saat ini masih
kurang dan penyebarannya pun belum merata. Oleh karena itu pemerintah
hrs mendukung biaya kuliah di kedokteran agar jumlah, kualitas dan
penyebaran dokter lebih baik lg.
Jadi sesungguhnya permasalahan yg dikemukakan DIB dlm demonya adalah
permasalahan di tingkat regulasi dgn pemerintah, dan internal RS itu
sendiri, bukan dgn BPJS Kesehatan. Jadi kalaupun JKN dan BPJS
Kesehatan dipersalahkan oleh DIB maka sebenarnya hal tsb tidak tepat.

Pinang Ranti, 29 Februari 2016

sumber : Timboel siregar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar