Senin, 09 September 2013

Peraturan TKI Kelautan diterbitkan

Bogor, BNP2TKI, Jumat (6/9) Keluarnya dua Peraturan Kepala Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang
mengatur tentang tata kelola TKI Pelaut telah menyelamatkan sekitar 80 ribu Anak
Buah Kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing di luar negeri. Kedua
Peraturan Kepala BNP2TKI yang terbit awal tahun 2013 mengatur perekrutan,
penempatan dan perlindungan pekerja Pelaut dan Pelaut Perikanan yaitu
Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor PER.03/KA/I/2013 tentang Tata Cara
Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing dan
Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor PER.12/KA/IV/2013 tentang Tata Cara
Perekrutan, Penempatan dan Perlindungan Pelaut di Kapal Berbendera
Asing.

"Peraturan yang diterbitkan Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat telah
menyelamatkan nasib ribuan TKI Pelaut dari ancaman Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK)," ujar Sekretaris Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Sonny Pattiselano
beribicara pada program penyuluhan hukum terkait dengan penempatan dan
perlindungan TKI khususnya TKI pelaut yang bekerja di kapal-kapal berbendera
asing yang diadakan oleh Biro Hukum dan Humas BNP2TKI, di Bogor, Kamis(5/9).
Menurut Sonny, sebelum keluarnya 2 peraturan Kepala BNP2TKI itu Indonesia
terancam akan terkena sanksi lantaran Indonesia belum menerapkan ketentuan
International Maritim Organisation (IMO).
KPI sudah mendapat konfirmasi lisan dari IMO bahwa Peraturan Kepala BNP2TKI itu
untuk sementara bisa dijadikan payung hukum guna melindungi profesi TKI Pelaut.
Meski demikian, katanya, pemerintah tetap harus segera meratifikasi Maritime Labour
Convention (MLC), karena konvensi ini telah diberlakukan di seluruh dunia oleh
ILO (International Labour Organization) mulai 20 Agustus 2013.
2 Peraturan itu, katanya adalah produk national kita dan semua regulasi
nasional ini harus diperkuat dengan konvensi internasional. Dia masih
mengkhawatirkan jika Indonesia tidak meratifikasi MLC ini kemungkinan tidak
diperpanjang kontrak bagi ABK di kapal yang merekrut orang Indonesia. Pasalnya,
pihak kapal akan terancam terkena sanksi jika mempekerjakan ABK yang belum
memiliki pemenuhan ketentuan-ketentuan perburuhan maritim.
Dikatakan, MLC merupakan pilar ke-4 dalam peraturan normatif yang wajib
dilaksanakan oleh industri Pelayaran diseluruh dunia. Penerapan dan
penegakannya dilakukan bersama dengan Safety of Life at Sea (SOLAS),
Marine Pollution (MARPOL) dan Standars of Training, Certification and Watchkeeping
(STCW). Terutama oleh negara bendera kapal dan para petugas Port State Control
(PSC) di setiap Negara.
Masalahnya, Sonny, perusahaan pelayaran asing itu menganggap Indonesia belum menerapkan ketentuan pelayaran internasional sebagaimana diterapkan oleh IMO sebagai badan dunia yang mengatur tentang keselamatan pelayaran termasuk ABK.
Dia menjelaskan, konvensi MLC mengatur semua hal dalam hubungan industrial
Pelaut, termasuk kewajiban Pengusaha Pelayaran untuk lebih memperhatikan
perbaikan-perbaikan dalam perjanjian
Jadi, lanjutnya, syaratnya tetap harus ratifikasi dulu. Selain Indonesia,
Filipina, Korea, Singapura dan India kompetitor ABK terbesar kita sudah
meratifikasi MCL. Bahkan China 1 bulan lagi akan meratifikasinya.
"Dengan meratifikasi dan melaksanakan semua ketentuan yang tercantum dalam
MLC, Indonesia akan terhindari dari ancaman internasional," kata Sonny.
Dia menjelaskan, konvensi MLC mengatur semua hal dalam hubungan industrial
Pelaut, termasuk kewajiban Pengusaha Pelayaran untuk lebih memperhatikan
perbaikan-perbaikan dalam perjanjian kerja. Juga tanggung jawab agen
pengawakan (manning agency), aturan jam kerja, kesehatan dan keselamatan
kerja, pemenuhan standar Perburuhan Maritim dan pelaksanaan praktek
pengerjaan yang baik.
"MLC juga merupakan regulasi yang merangkum semua ketentuan standar Perburuhan Internasional di sektor Maritim.Tujuannya untuk memberikan perlindungan maksimal kepada para Pelaut, menjamin hak-hak fundamental,dan menciptakan tata hubungan industrial yang baik dalam industri Pelayaran",katanya.
Ditambahankannya, di bawah konvensi MLC, setiap kapal berukuran 500 GT ke
atas yang beroperasi di Perairan Internasional maupun antar Pelabuhan
dalam suatu wilayah negara, wajib memenuhi ketentuan konvensi ini. Kapal
juga wajib memiliki Maritime Labour Certificate yang dikeluarkan oleh Administrator Negara bendera setelah dilaksanakan pemeriksaan yang valid.
Suatu Kapal dinyatakan telah memenuhi persyaratan MLC bila mampu menunjukkan bukti Declaration of Maritime Labour Compliance (DMLC).
Terkait hal ini, Sonny menyatakan kendala Pemerintah dalam meratifikasi MLC akibat
adanya penolakan dari Asosiasi Pemilik Kapal Indonesia (INSA), dengan alasan
Kapal-Kapal milik Perusahaan Pelayaran anggotanya belum siap.
Menurut dia, sikap INSA tersebut tidak dapat dijadikan patokan oleh Pemerintah
untuk tidak meratifikasi MLC. Pasalnya,apapun alasannya setelah MLC diberlakukan secara penuh oleh ILO di seluruh Dunia mulai 20 Agustus 2013,maka tetap saja Kapal-Kapal berbendera Indonesia yang melakukan pelayaran Internasional akan menghadapi pemeriksaan oleh Port State Control
(PSC) setempat.
"Apabila tidak memiliki DMLC, kapal akan dikenai sanksi," tegasnya.
Sedang bagi pelaut juga akan terkena dampaknya. Menurutnya, lapangan pekerjaan akan berkurang karena Pemilik Kapal lebih tertarik merekrut Pelaut dari Negara-Negara yang telah meratifikasi MLC. Dengan asumsi sistim perekrutan dan perlindungan Pelaut telah memenuhi ketentuan MLC.
Untuk itu, Sonny mengusulkan Pemerintah perlu segera memfasilitasi dialog tripartit antara Pemerintah, Serikat Pekerja Pelaut (KPI) dan INSA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar